Selasa, 15 Maret 2011

Kode Etik Jurnalistik

PERATURAN DEWAN PERS

Nomor: 6 Peraturan-DP/V/2008

PENGESAHAN SURAT KEPUTUSAN DEWAN PERS NOMOR 03/SK-DP/III/2006 TENTANG KODE ETIK JURNALISTIK SEBAGAI PERATURAN DEWAN PERS

Menimbang:

Bahwa agar Kode Etik Jurnalistik yang telah disepakati dan difasilitasi oleh Dewa Pers
dalam Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 dapat berlaku secara lebih efektif,
maka perlu ditetapkan dalam bentuk Peraturan Dewan Pers.

Mengingat:

  1. Pasal 7 ayat (2), pasal 15 ayat (2) huruf  f  UU No.40 th.1999 tentang Pers.
  2. Kepres No.7/M th. 2007 tgl 9 Pebruari 2007, tentang Keanggotaan Dewan Pers periode 2006-2009.
  3. Keputusan Sidang Pleno Dewan Pers, Senin, tgl 12 Mei 2008 di Jakarta


MEMUTUSKAN

Menetapkan         : Peraturan Dewan Pers tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers
  No.03/SK-DP/III/2006 tertanggal 24 Maret 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai
  Peraturan Dewan Pers.
Pertama                 : Mengesahkan Surat Keputusan Dewan Pers No.03/SKDP/III/2006 tertanggal 24 Maret 2006
  tentang Kode Etik Jurnalistik dengan segala lampirannya sebagai Peraturan Dewan Pers.
Kedua                    : Peraturan Dewan Pers ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Mei 2008

Ketua Dewan Pers

Dto

Prof Dr. Ichlasul Amal, MA.




SURAT KEPUTUSAN DEWAN PERS
Nomor: 03/SK-DP/III/2006

tentang

KODE ETIK JURNALISTIK


Menimbang:

  1. Bahwa telah terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam kehidupan Pers Nasional selama enam tahun terakhir sejak dikeluarkannya UU No.40 th.1999 tentang Pers.
  2. Bahwa Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang disepakati oleh 29 Orgaisasi Wartawan di Bandung pada tanggal 6 Agustus 1999 dinilai perlu dilengkapi sehingga dapat menampung berbagai persoalan Pers yang berkembang saat ini, terutama yang terjadi pada Media Pers Elektronik.
  3. Bahwa berbagai Perusahaan Pers dan Organisasi Wartawan masing-masing telah mempunyai Kode Etik.
  4. Bahwa dengan demikian perlu ditetapkan Kode Etik Jurnalistik yang baru yang berlaku secara Nasional, sebagai landasan moral atau etika profesi dan menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesional wartawsan.

Mengingat:

  1. UU No.40 th.1999 tentang Pers;
  2. Kepres No.143/M th.2003 tgl 13 Agustus 2003, tentang Keanggotaan Dewan Pers periode tahun 2003-2006

Memperhatikan:

  1. Keputusan Sidang Pleno I Lokakarya V yang dihadiri 29 Organisasi Pers, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia pada hari; Selasa, 14 Maret di Jakarta;
  2. Sidang Pleno Dewan Pers pada hari; Jumat, 24 Maret 2006 di Jakarta.


MEMUTUSKAN

Menetapkan:

Pertama                 : Kode Etik Jurnalistik sebagaimana terlampir sebagai pengganti dari Kode Etik Wartawan
                                  Indonesia.
Kedua                    : Kode Etik Wartawan Indonesia sebagaimana terdapat dalam Surat Keputusan Dewan Pers
  No.1/SK-DP/2000 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ketiga                    : Keputusan Dewan Pers ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Maret 2006


Ketua Dewan Pers

Dto

Prof Dr. Ichlasul Amal, MA.



KODE ETIK JURNALISTIK

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan Pers adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilindungi Pancasila, UUD 1945, dan Deklarasi Universal HAM PBB. Kemerdekaan Pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Dalam mewujudkan kemerdekaan Pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggungjawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, Pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu Pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan Pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar.
Wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasioanl dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:



KODE ETIK
JURNALISTIK
News  Writing and Jurnalism
(sunday, 5 mart 2001)
@ by bengkel seni “PANDU”  member of art ambassador Pemalang cq. abdul lukman prabowo
add: Kasowetan Sarwodadi Rt.11/Rw.02 No.120 Comal Kp.52363 Pemalang


WARTAWAN INDONESIA MENETAPKAN DAN MENAATI
KODE ETIK JURNALISTIK

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap Independen, menghasilkan berita dengan akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran:
a.       Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b.       Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan obyektif ketika peristiwa terjadi.
c.        Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d.       Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesian menempuh cara-cara yang profesional
dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran:
Cara-cara yang profesional adalah:
a.       Menunjukkan identitas diri kepada narasumber.
b.       Menghormati hak privasi.
c.        Tidak menyuap.
d.       Menghasilkan berita yang factual dan jelas sumbernya.
e.        Rekayasa pengambilan berita dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang.
f.        Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara.
g.        Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.
h.       Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

PROFESI WARTAWAN

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi,
serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran:
a.       Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b.       Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c.        Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat  yang punya interprestasi wartawan atas fakta.
d.       Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.


Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran:
a.       Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b.       Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c.        Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d.       Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e.        Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran:
a.       Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b.       Anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 16 th dan belum menikah.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran:
a.       Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum  informasi tersebut  menjadi pengetahuan umum.
b.       Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber
yang tidak bersedia diketahui identitasnya maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran:
a.       Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b.       Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c.        Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumber.
d.       “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber  yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8

Wartawan  Indonesia tidak menulis atau atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka
atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin,
dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit,
cacat jiwa, atau cacat jasmani.
Penafsiran:
a.       Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b.       Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya,
kecuali untuk kepentingan public.
Penafsiran:
a.       Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b.       Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang yang terkait dengan kepentingan public.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki, berita yang keliru
dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf keapda pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran:
a.       Segera, berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun  tidak ada teguran dari pihak luar.
b.       Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara profesional.
Penafsiran:
a.       Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang yang memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b.       Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c.        Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggan Kode Etik Jurnalistik dilakukan DEWAN PERS. Sangsi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan oleh Organisasi Wartawan dan atau Perusahaan Pers.

Jakarta, Selasa 14 Maret 2006


Kami atas nama Organisasi Wartawan dan Organisasi Perusahaan Pers Indonesia:
1.       Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) – Abdul Manan.
2.       Aliansi Wartawan Independen (AWI) – Alex Sutejo.
3.       Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) – Umi Z. Lubis.
4.       Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI) – Syahyan Budiwahyu
5.       Asosiasi Wartawan Kota (AWK) – Dasmir Ali Malayne.
6.       Federasi Serikat Pewarta (FSP) – Masfendi.
7.       Gabungan Wartawan Indonesia (GWI) – Fowa’a Hia.
8.       Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPNI) – RE. Hermawan S.
9.       Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI) – Syahril.
10.    Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) – Bekti Nugroho
11.    Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA) – Boyke M. Nainggolan.
12.    Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI) – Kasmarios, Sm.Hk.
13.    Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI) – M. Suprapto.
14.    Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) – Sakata Barus.
15.    Komite Wartawan Indonesia (KWI) – Herman Sanggam.
16.    Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS WI) – AM. Syarifuddin.
17.    Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI) – Hans Max Kawengian.
18.    Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI) – Hasnul Amar.
19.    Perhimpunan Jurnalistik Indonesia (PJI) – Ismed Hasan Potro.
20.    Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) – Wina Armada Sukardi.
21.    Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI) – Andi A. Malarangan.
22.    Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK) – Jaya Supardja Ramli.
23.    Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWI RI) – Ramses Ramona S.
24.    Perkumpulan Jurnalistik Nasrani Indonesia (PJNI) – EV. Robinson Togap Siagian.
25.    Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI) – Rusli.
26.    Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) – Mahtum Mastoem.
27.    Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS) – Laode Hazirun.
28.    Serikat Wartawan Indonesia (SWI) – Daniel Chandra.
29.    Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII) – Gunarso Kusumodiningrat.
Pengertian Kode Etik Jurnalistik UU No.40 th.1999 “Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan” kode etik jurnalistik dalam masyarakat demokratis pertanggungjawaban Insan Pers (Wartawan). Kebebasan Pers memiliki hubungan yang erat dengan fungsi Pers dalam masyarakat demokratis. Pers adalah salah satu kekuatan demokratis terutama kekuatan untuk mengontrol dan mengendalikan jalannya pemerintahan. Berfungsi menyediakan informasi dan alternative serta evaluasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam partisipasinya dalam proses penyelenggaraan Negara.
Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat seorang wartawan hendaknya menempuh jalan dan cara yang jujur untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan, dengan meneliti kebenaran dan akuratnya sebelum menyiarkan serta harus memperhatikan kredibilitas sumbernya.
Di dalam menyusun suatu berita hendaknya dibedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini) sehingga tidak mencampurkan antara keduanya, termasuk kedalamnya adalah obyektifitas dan sportifitas berdasarkan kebebasan yang bertanggungjawa. Penyiaran suatu berita yang berisi tuduhan yang tidak berdasar, desas-desus, hasutan yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara, fitnahan, pemutarbalikan suatu kejadian adalah merupakan pelanggara berat terhadap profesi jurnalistik.
Menanggapi besarnya kesalahan yang dapat ditimbulkan dari proses/cara pemberitaan serta menyatakan pendapat di atas, maka dalam kode etik jurnalistik diatur juga mengenai hak jawab dan hak koreksi, dalam artian bahwa pemberitaan/penulisan yang tidak benar harus ditulis dan diralat kembali atas keinsyafan wartawan yang bersangkutan, dan pihak yang merasa dirugikan wajib diberi kesempatan untuk menjawab dan memperbaiki pemberitaan dimaksud.

Sumber berita.

Seorang wartawan diharuskan menyebut dengan jujur sumber pemberitaan dalam pengutipan, sebab perbuatan mengutip berita gambar atau tulisan tanpa menyebutkan sumbernya merupakan suatu pelanggaran kode etik. Sedang dalam hal berita tanpa penyebutan sumbernya maka pertanggungjawaban terletak pada wartawa dan atau penerbit yan g bersangkutan.

Kekuatan kode etik.

Kode etik dibuat atas prinsip bahwa pertanggungjawaban tentang penataannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia. Dan bahwa tidak ada satupun pasal dalam kode etik (jurnalistik) yang memberi wewenang kepada golongan manapun di luar PWI untuk mengambil tindakan terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap Penerbitan Pers. Karenanya sanksi atas pelanggaran kode etik adalah hak yang merupakan hak organisatoris dari PWI melalui organ-organnya.

Upaya pemerintah dalam kebebasan Pers:

Regulasi: UU No.9 th 1998, UU No.40 th 1999.
Lembaga: PWI, KPI, Dewan Pers. Dewn Pers (menurut UU No40/1999)



DEWAN PERS (MENURUT UU NO.40/1999)

Lembaga

Dewan Pers yang independen dibentuk berdasarkan perintah UU No.40 pasal 15 th.1999. Pembentukan Dewan Pers adalah bagian dari upaya mengembangkan kemerdekaan Pers dan meningkatkan kehidupan Pers Nasional.

Fungsi

A s.d. G (sudah jelas)

                Dewan Pers Independen, yang lahir dalam semanat reformasi, bersifat mandiri dan tidak ada lagi unsur pemerintah dalam keanggotaannya. Dengan dukungan masyarakat Pers Indonesia, otoritas Dewan Pers semata-mata terletak pada kemauan perusahaan dan redaksi media Pers untuk menhargai pandangan Dewan Pers serta secara sukarelah mematuhi Kode Etik Jurnalistik dab mengakui kesalahan, sengaja atau tidak, secara terbuka.
Status keanggotaan Dewan Pers ditetapkan melalui Kepres dan keanggotaan Dewan Pers hanya berlaku untuk untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Kegiatan-kegiatan Dewa Pers dilaksanakan dengan dukungan dana darim organisasi Pers; Perusahaan Pers; bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.

ETIKA PROFESI

Pengertian Kode Etik Profesi; Keiser dalam (Suhrawardi Lubis, 1994: 6-7, Etika Profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan ketertiban penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.
Sedang Magnis Suseno (1991: 70) membedakan profesi sebagai pada umumnya dan profesi luhur. Profesi umum adalah kegiatan untuk menghasilkan nafkah hidup dan mengandalkan suatu keahlian khusus terdapat pula yang disebut sebagai profesi luhur, yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan suatu pelayanan pada manusi atau masyarakat.

Tujuan Etika Profesi, Suhrawadi Lubis (1994: 13):
a.       Menjelaskan dan menetapkan tanggungjawab kepada lembaga dan masyarakat umum.
b.       Membantu para profesional dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat dalam menghadapi dilema pekerjaan mereka.
c.        Menjaga reputasi atau nama para profesional.
d.       Untuk menjaga kekuatan dan integritas para tenaga profesi.
e.        Merupakan pencerminan dan pengharapan dari komunitasnya, yang menjamin pelaksanaan kode etik tersebut dalam pelayanannya.

Fungsi Etika Profesi:
a.       Sebagai sarana kontrol sosial.
b.       Mencegah pengawasan atau campur tangan pihak luar.
c.        Untuk membangu patokan kehendak yang lebih tinggi.



Sekilas Perkembangan Jurnalistik


1.       Kelahiran Wartawan Pertama

Dapat disebutkan bahwa wartawan-wartawan pertama lahir ketika zaman kepemimpinan Julius Caesar (100-44SM). Waktu itu sudah terdapat media bentukan pemerintah yaitu Acta Senatus yang berisi hasil rapat senat dan Acta Diurna yang berisi hasil rapat rakyat dan berita lainnya. Ara pemilik budak pada zaman itu menyuruh budaknya untuk mencari informasi tentang apapun sesuai keinginan majikannya yang nantinya dilontarkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.

2.       Zaman Penjajahan di Indonesia

Sejarah jurnalistik di Indonesia dimulai pada abad ke-18, tepatnya pada 1744 ketika Bataviasche Nouvelles diterbitkan oleh penjajah Belanda. Pada 1776 juga terbit Vendu Niews yang berisi tentang berita pelelangan, juga diterbitkan oleh Belanda sebagai penjajah Indonesia. Sedangkan surat kabar pertama sebagai bacaan orang pribumi ialah majalah Bianglala pada 1854 dan Bromartani pada 1885, keduanya di Weltevreden. Pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya.
Sejarah jurnalistik Indonesia pada abad 20 ditandai dengan munculnya Medan Prijaji yang didirikan oleh dan modal orang Indonesia, yaitu Tirtohadisuryo, untuk bangsa Indonesia. Mulanya pada 1907, surat kabar ini berbentuk dan baru pada 1910 berubah menjadi harian.

3.       Dari Bulan Madu ke Gelap Gulita

Pers Indonesia yang pada era kemerdekaan 1945, menjadi pers yang berusaha dan berorientasi untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan berubah haluan menjadi Pers Partisan pada tahun 1950. Pers pada saat itu hanya merupakan corong bagi partai politik, hanyut dalam dunia politik praktis.
Era Pers Partisan tidak berlangsung lama karena setelah Dekrit Presiden 1 Juli 1959, Pers Indonesia memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan harus memiliki Surat Izin Terit (SIT). Apabila ketika setiap surat kabar harus menginduk pada organisasi politik atau organisasi massa. Hal ini membuat wartawan sulit untuk mengeluarkan pikirannya lewat media tempat ia bekerja. Wartawa harus mengikuti kebijakan redaksi yang menginduk pada suatu paham organisasi tertentu.

4.        Kebebasan Jurnalistik Pasca 1965

Pada era setelah 1965 banyak sekali terjadi perubahan. Perubahan ini disebabkan oleh tiga hal.
a.       Pertama, peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G-30S
b.       Kedua, kebebasan Pers menjadi lebihleuasa dibanding dengan periode sebelumnya
c.        Ketiga, barangkali juga embrio sikap profesionalisme dalam redaksi dan dalam pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, serta pengelolaan keuangan (Oetama, 1987: 26).
Konflik-konflik yang terjadi mendorong masyarakat untuk mencari informasi lewat Pers. Kemudian terjadilah proses lahir dan didiskusikannya gagasan politik, ekonomi, budaya. Surutnya partai-partai membuat media massa tidak lagi berafiliasi dengan parpol. Kondisi ini membuat Pers dapat menjadi media yang independen cenderung mengambil jarak dengan parpol yang pada akhirnya menjadi alat kontrol sosial.
Sistem ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu, yaitu sistem ekonomi yang merujuk pada sistem pasar internasional, turut mempengaruhi pertumbuhan Pers Indonesia. Bagian substansial dari ekonomi pasar adalah persaingan produk, promosi, dan periklanan. Bisnis iklan dan mimbar promosi lewat iklan, berkembang, diantaranya adalah surat kabar. Surat kabar bermunculan akibat dari kondusifnya situasi untuk berbisnis surat kabar. Surat kabar berkembang menjadi sarana ekonomi dan dapat tumbuh dengan subur. Tetapi sebagai wahana ekspresi, penyalur pendapat umum, dan pengemban fungsi kontrol sosial, Pers dihadapkan pada berbagai pembatasan dan tekanan dari pihak penguasa (pemerintah). Sejarah menunjukkan bahwa kekuasan Orde Baru sangat represif ketika Pers menyentuh bidang politik (kekuasaan) pemerintah. Ditandai dengan dibredelnya mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung dan diikuti 11 penerbit Pers Umum (peristiwa Malari).

 

Sejarah Jurnalistik

Pengertian Jurnalistik


Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata Journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti surat kabar. Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal dengan publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan jurnalistik.
Sejarah Jurnalistik Berdasarkan Sejarah Bangsa Romawi Dalam sejarah Kerajaan Romawi disebutkan bahwa Raja Imam Agung menyuruh orang untuk membuat catatan tentang segala kejadian penting. Catatan itu itu di buat dan digantungkan di serambi rumah raja, sebagai pemberitahuan bagi orang yang lewat dan memerlukannya.
Pengumuaman dengan cara demikian kembali dilakukan Julius Caesar dalam masa kejayaannya. Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan. Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Lambat laun para “Diurnarii” kemudian menyadari akan pentingnya informasi yang mereka dapat, hal itulah yang memotivasi mereka untuk menjual catatannya dan tidak lagi menjadi budak. Para Diurnarri berlomba-lomba mendapatkan informasi penting secara cepat untuk disebarluaskan, yang kemudian menimbulkan korban pertama kalinya dalam dunia jurnalistik. Dimana seorang Diurnarri yang bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan mengabarkan berita yang masih belum boleh dikabarkan atau masih rahasia. Berita itu adalah tentang rencana mutasi seorang pembesar yang menurut Caesar belum waktunya diberitakan, karena masih dalam pertimbangan, dan harus hati-hati karena akan timbul bahaya.

                Sejarah Jurnalistik Dalam Kaca Mata Islam

                Dalam sejarah Islam, cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan. Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
                Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.

                Sejarah Jurnalistik di Dunia

Secara etimologi, jurnalistik dapat diartikan sebagai suatu karya seni dalam hal membuat catatan tentang peristiwa sehari-hari. Karya seni dimaksud memiliki nilai keindahan yang dapat menarik perhatian khalayak (pembaca, pendengar, pemirsa), sehingga dapat dinikmati dan dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya.

Secara lebih luas, pengertian atau definisi jurnalistik adalah seni dan ketrampilan mencari mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya, sehingga terjadi perubahan sikap, sifat, pendapat, dan perilaku khalayak sesuai dengan para jurnalisnya. (Kustadi Suhandang, 2004: 21).

Masih banyak definisi atau pengertian jurnalistik, antara lain kejadian pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari (Astrid S. Susanto, 1986, Komunikasi Massa, Hal. 73). Onong Uchjana Effendy 1981: 102) menyatakan bahwa jurnalistik merupakan kegiatan pengolahan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarluasannya kepada masyarakat.

A.W. Widjaja (1986: 27) menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual dalam waktu secepat-cepatnya.

Ensiklopedi Indonesia secara rinci menerangkan bahwa jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sara penerbitan yang ada.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi maka yang bermula dari laporan harian maka tercetak manjadi surat kabar harian. Dari media cetak berkembang ke media elektronik, dari kemajuan elektronik terciptalah media informasi berupa radio. Tidak cukup dengan radio yang hanya berupa suara muncul pula terobosan baru berupa media audio visual yaitu TV (televisi). Media informasi tidak puas hanya dengan televisi, lahirlah berupa internet, sebagai jaringan yang bebas dan tidak terbatas. Dan sekarang dengan perkembangan teknologi telah melahirkan banyak media (multimedia).
Surat kabar pertama kali terbit di Cina tahun 911, yaitu Kin Pau. Surat Kabar ini milik pemerintah ketika zaman Kaisar Quang Soo. Tidak berbeda dengan di Jaman Caesar, Kin Pau berisi keputusan rapat, hasil musyawarah dan berbagai informasi dari Istana. Di Eropa tidak jelas siapa pelopor pertamanya. Namun, padi 1605, Abraham Verhoehn di Antwerpen Belgia mendapat izin mencetak Nieuwe Tihdininghen. Akhirnya, pada 1617, selebaran ini dapat terbit 8 hingga 9 hari sekali. Beranjak ke Jerman, di tahun 1609, terbitlah surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung. Pada 1618, muncul surat kabar tertua di Belanda bernama Coyrante uytItalien en Duytschland. Surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar VanHilten di Amsterdam. Kemudian surat kabar mulai bermunculan di Perancis tahun 1631, di Itali tahun 1636 dan Curant of General newsterbit, surat kabar pertama di Inggris yang terbit tahun 1662.

                Sejarah Jurnalistik di Indonesia

Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan  Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Pers Nasional muncul pada abad ke-20 di Bandung dengan nama Medan Priayi. Media yang dibuat oleh Tirto Hadisuryo atau Raden Djikomono, diperuntukan sebagai alat perjuangan pergerakan kemerdekaan. Tirto Hadisuryo akhirnya dianggap sebagai pelopor peletak dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia.
Namun sebuah sumber mengatakan bahwa Negarakertagama lah jurnalistik pertama di Indonesia. Karya agarakretagama bukan sekadar karya biasa. Keluarbiasaan Nagarakretagama terletak pada isi yang berupa laporan nyata tentang keadaan Majapahit saat itu. Banyak pakar sependapat bahwa Nagarakretagama merupakan karya jurnalistik pertama di Indonesia. Pendapat ini disimpulkan mengingat ciri utama karya jurnalistik telah terpenuhi dalam Nagarakretagama, yakni adanya peristiwa atau fakta yang dikomunikasikan dan mampu menarik perhatian orang karena keaktualannya. Dalam mencari data Prapanca menggunakan metode pengamatan dan wawancara dengan seorang tokoh pendeta. Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembredelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.
Seiring era reformasi yang dikumandangkan dari Sabang sampai Merauke oleh para reformis, menggantikan era totaliterisme Soeharto, maka dunia jurnalisme kita mendapatkan angin segar dalam menyampaikan informasi kepada khalayak umum tanpa takut adanya ancaman pembredelan.
Tidak kurang dari 32 tahun dunia jurnalisme kita mandul dan harus berfungsi sebagai corong pemerintahan Orde Baru (Orba) yang jauh dari Idealisme Pers sebagai kontrol sosial. Bahkan sejak akhir masa kekuasaan Soekarno (Orde Lama/Orla), pun dunia jurnalisme kita telah diarahkan menjadi corong pemerintahan. Di era orde lama, institusionalisme pers yang berkembang adalah bagaimana sebuah Lembaga Penerbit Pers dapat melibatkan diri dalam pertentangan antar partai. Masing-masing media cetak berfungsi sebagai corong perjuangan partai-partai peserta pemilu 1955. Beberapa partai seperti PNI mempunyai Suluh Indonesia, Masyumi mempunyai Abadi, NU mempunyai Duta Masyarakat, PSI mempunyai Pedoman dan PKI mempunyai Harian Rakyat.
Jadi fungsi media di era Orde Lama tak lain sebagai media perjuangan partainya masing-masing.
Sejak pencabutan pengaturan mengenai SIUPP dan kebebasan penyajian berita serta informasi di berbagai bentuk pada tahun 1999 disahkan UU Pers No
.40/1999. Mulai saat itu dunia jurnalisme kita lepas dari pemasungan yang selama akhir masa Orde Lama dan Orde Baru menjerat demokratisasi Pers kita.
Tak lama kemudian dalam merayakan kemenangan sistem demokrasi muncul berbagai macam ribuan media massa baik cetak maupun elektronik yang tak terbendung lagi memberikan warna kebebasan dalam dunia jurnalisme kita. Namun gagasan otonomi Pers selama ini disalahtafsirkan menjadi kebebasan Pers yang tanpa batas etika. Bahkan hemat saya, kebebasan Pers di era Reformasi telah jauh meninggalkan kode etik jurnalistik dan lebih liberal dari Pers Amerika yang menganut paham Leberalisme Pers sekalipun. Hal itu terlihat dari beberapa media pers kita yang menyebarkan berita mengarah ke dunia pornografi, kriminal, kekerasan serta mengabaikan nilai-nilai perjuangan kemanusiaan. Mengingat sesuai dengan UU No.40 th.1999 tentang Pers secara tegas sebagai kedaulatan rakyat, dan berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Posisi Jurnalis

Tantangan idealisme pers masa kini bukan menentang atau harus berkiblat kepada kekuasaan namun justru bagi para jurnalis dihadapkan dengan institusionalisme pers yang cenderung komersil dan tantangan dari para kapitalisme yang mencoba mengarahkan media sesuai dengan keinginannya. Mengingat antara institusionalisme pers dan kapitalisme tentu mereka mempunyai interest untuk mengarahkan media sesuai dengan kehendaknya. Namun yang jadi pokok permasalahannya ialah ketika media menempatkan sebagai penyampai informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial tidak diprioritaskan.
Dengan demikian ungkapan yang selama ini populis dengan jurnalisme berjuang melalui pena dalam kaitan dengan tanggung jawab etis para jurnalis tidak sekedar berkaitan dengan dunia teknis tulis-menulis jurnalistik, namun justru merupakan simbol di dalam proses interaksi yang sangat rumit di antara faktor-faktor eksternal dan internal media pers, yakni Jurnalis sebagai kuli tinta harus tegas memperjuangkan kebenaran sejati di atas institusionalisme pers dan kapitalisme yang cenderung lebih menampakan komersialisasi dibandingkan dengan media sebagai penyampai informasi secara akurat dan terpercaya. Menurut Hoheberg berpendapat bahwa terdapat empat unsur penopang tipe ideal seoang jurnalis, yaitu:
a) Tidak pernah berhenti dalam mencari kebenaran,
b) Mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman,
c) Mampu melaksanakan tugas-tugas yang berguna bagi masyyarakat,
d) Mampu menjaga dan memelihara kebebasannya. Mengingat peran wartawan dalam mengkonstruksi
     berita sangat penting terhadap keselarasan informasi kepada khalayak umum.


Sebagai Media Perjuangan
Di tengah-tengah arus informasi yang tak terbendung lagi maka media mempunyai peran yang sangat vital dalam menyampaikan berita yang dibutuhkan oleh khalayak umum. Meskipun di era Reformasi tantangan jurnalisme kita masih menghadapi institusionalisme pers yang cenderung kkomersial dan godaan syahwat kapitalisme. Belakangan ini Setidaknya media baik cetak maupun elektronik telah merambah memperjuangkan keadilan terhadap orang kecil. Misalnya belakangan ini, beberapa televisi swasta kita telah berpartisipasi dengan menggalang “koin untuk Prita” sebagai gerakan sosial anti-diskriminasi hukum yang dibebankan terhadap Prita Mulyasari, alih-alih dianggap telah mencemarkan nama baik RS. Omni Internasional dengan denda 204 juta. Bahkan gerakan sosial “koin untuk Prita” merambah ke berbagai elemen sosial dari pengamen sampai pejabat negara.
Oleh karena itu, pers tak hanya sekedar berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial namun juga berperan sebagai media perjuangan. Tentu bukan memperjuangkan sebuah partai dalam memenangkan Pemilu seperti yang terjadi di era Orde Lama atau sebagai corong pemerintahan seperti yang terjadi di era Orde Baru. Namun pers secara etis mempunyai beban moral untuk memperjuangkan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di muka bumi ini.












PERNYATAAN SEDUNIA

TENTANG
HAK AZASI MANUSIA

Teks bahasa Indonesia diterbitkan oleh Kementerian Penerangan RI
(Jakarta, 1952)





MUKADIMAH

Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan
tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian di dunia.
Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati kemanusiaan, dan terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan agama dan  kebebasan dari
ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat jelata.
Menimbang bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakkan sebagai usaha yang terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan.
Menimbang bahwa persahabatan antara negara-negara perlu dianjurkan.
Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan sekali lagi dalam Piagam kepercayaan mereka akan hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan penghargaan seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari laki-laki maupun perempuan dan telah memutuskan akan memajukan sosial dan tingkat penghidupan yang lebih baik
dalam kemerdekaan yang lebih luas.
Menimbang bahwa negara-negara anggota telah berjanji akan mencapai perbaikan
penghargaan umum terhadap dan pelaksanaan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan azas, dalam kerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menimbang bahwa pengertian  umum terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini adalah
penting sekali untuk pelaksanaan yang benar dari janji ini.





MAKA MAJELIS BESAR MEMPROKLAMIRKAN


PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK MANUSIA
ini sebagai suatu baku pelaksanaan umum bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan bahwa setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan senantiasa mengingat pernyataan ini, akan berusaha, dengan jalan mengajar dan mendidik untuk mempertinggi penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dan dengan jalan tindakan-tindakan progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan pelaksanaannya yang umum dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara anggota sendiri maupun daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka.


Pasal 1

Sekalian orang yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.

Pasal 2

(1)  Setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada kekecualian apapun, seperti misalnya bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik, kelahiran atau pun kedudukan lain.
(2)  Selanjutnya tidak akan diadakan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau pun kedudukkan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang tidak merdeka, yang berbentuk trust, nonselfgoverning atau yang di bawah pembatasan-pembatasan lain dari kedaulatan.

Pasal 3

Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang.

Pasal 4

Tiada seorang juapun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak
dalam bentuk apapun mesti dilarang.

Pasal 5

Tiada seorang juapun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan
atau pun jalan perlakuan atau hukum yang menghinakan.

Pasal 6

Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi terhadap undang-undang di mana saja ia berada.

Pasal 7

Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada perbedaan. Sekalian orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam ini.

Pasal 8

Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim Nasional
yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberikan kepadanya
oleh Undang-Undang Dasar (UUD) Negara atau Undang-Undang (UU).

Pasal 9

Tiada seorang juapun boleh ditangkap, ditahan, atau dibuang secara sewenang-wenang.

Pasal 10

Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya.

Pasal 11

(1)     Setiap orang yang dituntut karena tersangka melakukan suatu pelanggaran pidana dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka, dan di dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya.
(2)     Tiada seorang juapun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan, ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.

Pasal 12

Tiada seorang juapun dapat diganggu dengan sewenang-wenang dalam urusan perseorangannya,
keluarganya, rumahtangganya, atau hubungan surat-menyuratnya,
juga tidak diperkenankan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya.
Setiap orang berhak mendapat perlindungan undang-undang terhadap gangguan-gangguan
atau pelanggaran-pelanggaran demikian.

Pasal 13

(1)     Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap negara.
(2)     Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri,
dan berhak kembali ke negerinya.

Pasal 14

(1)     Setiap orang berhak mencari dan mendapat tempat pelarian di negeri-negeri lain
untuk menjauhi pengejaran.
(2)     Hak ini tidak dapat dipergunakan dalam pengejaran yang benar-benar timbul dari kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik atau perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar-dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pasal 15

(1)     Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
(2)     Tiada seorang juapun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraannya.

Pasal 16

(1)     Orang-orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan atau agama, berhak untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam perkawinan dan dikala perceraian.
(2)     Perkawinan harus dilakukan hanya dengan cara suka sama suka dari kedua mempelai.
(3)     Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.

Pasal 17

(1)     Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang  lain.
(2)     Seorangpun tidak boleh dirampas miliknya dengan yang semena-mena.

Pasal 18

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin, dan agama;
dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepecayaannya dengan cara mengajarkannya melakukannya, beribadat, dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan yang tersendiri.

Pasal 19

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat;
dalam hak ini termasuk kebebasaan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.

Pasal 20

(1)     Setiap orang mempunyai hak atas kebebasaan berkumpul dan berapat.
(2)     Tidak seorang juapun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.

Pasal 21

(1)     Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri,
baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
(2)     Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintah negerinya.
(3)     Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaa pemerintahan; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.

Pasal 22

Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial
dan berhak melakukan dengan perantaraan usaha-usaha nasional dan kerjasama internasional
dan sesuai dengan sumber-sumber kekayaan dari setiap negara, hak-hak ekonomi, sosial,
dan kebudayaan yang perlu guna martabatnya,
dan guna perkembangan bebas pribadinya.

Pasal 23

(1)     Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil serta baik dan atas perlindungan terhadap kepada pengangguran,
(2)     Setiap orang dengan tidak ada perbedaan, berhak atas pengupahan yang sama
untuk pekerjaan yang sama.
(3)     Setiap orang yang melakukan pekejaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik yang menjamin penghidupannya bersama dengan keluarganya, sepadan dengan martabat manusia,
dan jika perlu ditambah dengan bantuan-bantuan sosial lainnya.
(4)     Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat sekerja
untuk memperlindungi kepentingannya.

Pasal 24

Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk juga pembatasan-pembatasan jam bekerja yang layak dan hari-hari berkala dengan menerima upah.

Pasal 25

(1)     Setiap orang berhak atas tingkat yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan, dan usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami pengambilan pegangan hidup, janda, lanjut usia atau mengalami kekurangan nafkah lain-lain karena keadaan yang di luar kekuasaannya.
(2)     Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dari bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.

Pasal 26

(1)     Setiap orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan percuma, setidak-tidaknya dalam tingkatan rendah dan tingkatan dasar. Pengajaran sekolah rendah harus diwajibkan. Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua orang dan pengajaran tinggi harus dapat dimasuki
dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kecerdasan.
(2)     Pengajaran harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima
serta rasa persahabatan antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau golongan penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
dalam memelihara perdamaian.
(3)     Ibu bapak mempunyai hak utama untuk memilih macam pangajaran yang akan diberikan
kepada anak-anak mereka.

Pasal 27

(1)     Setiap orang berhak untuk turut serta dengan bebas dalam hidup kebudayaan di masyarakat, untuk mengecap kenikmatan kesenian dan untuk turut serta dalam kemajuan ilmu pengetahuan
serta mendapat manfaatnya.
(2)     Setiap orang berhak untuk diperlindungi kepentingan-kepentingannya moril dan materiil yang didapatnya sebagai hasil dari sesuatu produksi dalam lapangan ilmu pengetahuan, kesusasteraan
atau kesenian yang diciptakan sendiri.

Pasal 28

Setiap orang berhak atas sesuatu susunan sosial internasional di dalam dimana hak-hak dan kebebasan yang termaktub di dalam pernyataan ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.

Pasal 29

(1)     Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap suatu masyarakat dimana ia mendapat kemungkinan untuk mengembangkan pribadinya dengan penuh dan bebas.
(2)     Di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat benar dari kesusilaan,
tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokratis.
(3)     Hak-hak kebebasan-kebebasan ini sekalipun tidak boleh dijalankan dengan cara yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan dasar-dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pasal 30

Tidak sesuatu pun dalam pernyataan ini boleh diartikan memberikan salah suatu negara, golongan atau pun seseorang, sesuatu hak untuk melakukan sesuatu kegiatan atau sesuatu perbuatan yang bertujuan untuk merusak salah suatu hak dan kebebasan yang termaktub dalam pernyataan ini.


by abdul lukman prabowo, cml 2 sept 2011
@ horizon/xii/326





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999

TENTANG PERS

Pers adalah lembaga sosial yang melaksanakan kegiatan kejurnalistikan dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Orang yang melaksanakan kegiatan kejurnalistikan disebut Waratawan. Wartawan memiliki hak Hak Tolak, hak untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Begitupun juga dengan sesorang atau sekelompok orang di dalam pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya mempunyai Hak Jawab untuk memberikan tanggapan atau sanggahan. Dan setiap orang berhak untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh Pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain dinamakan Hak Koreksi, bahkan ada suatu Kewajiban Koreksi apabila terjadi pemberitaan yang tidk benar oleh Pers yang bersangkutan. Sehingga pers mempunyai kewajiban untuk menjawab hak tolak dan hak jawab tersebut.
Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha Pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya. Ada Pers Nasional yaitu Pers yang diselenggarakan oleh Perusahaan Pers Indonesia dan ada juga Pers Asing yaitu Pers yang diselenggarakan oleh Perusahaan Asing. Sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan Pers dan meningkatkan kehidupan Pers Nasional maka dibentuklah  Dewan Pers. Dewan Pers berfungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan Pers, melindungi Kemerdekaan Pers dari campur tangan pihak lain dan lain-lain. Pembiayaan Dewan Pers berasal dari; Organisasi Pers, Perusahaan Pers, dan bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat. Segala peraturan Perundang-Undangan di bidang Pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru, jadi segala kegiatan  diatur di Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 Tahun 1999 ini.
(loOk)