Jumat, 12 Juli 2013

Sulamin, SPd.: Mesin Politik Indonesia Mengalami Lemah Syahwat




Sulamin, S.Pd.
Alumnus Guru SMK Satya Praja 2 Petarukan
Kabupaten Pemalang 52363 Jawa Tengah

(Surat Kabar Dialog. Kamis 18 Juli 2013 / hariandialog.com)

Negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dipimpin oleh presiden. Presiden dalam melaksanakan tugas kenegaraan dibantu oleh wakil presiden dan para menteri. Dalam mengemban tugas tentunya para wakil rakyat harus mampu menjunjung tinggi makna pemerintahan demokrasi Pancasila.
Dewasa ini makna demokrasi masih sering terabaikan oleh para pejabat pemegang pemerintahan. Penyimpangan-demi penyimpangan dilakukan dengan dalih mempertebal kantong pribadi dikarenakan minimnya iman dan rapuhnya budi pekerti.
Aneka kasus penyalahgunaan uang Negara semuanya sudah tidak asing lagi terdengar di masyarakat luas, sebagai contohnya kasus Hambalang, Kasus bank Century, kasus suap daging sapi,kasus Eyang Subur, dan lain sebagainya. Kompleksitas kasus-kasus tersebut seperti belum mampu teratasi dengan baik dikarenakan adanya simpang-siur para pelaku hokum yang tidak sesuai dengan harapan rakyat Indonesia.
Jika kita mencermati system demokrasi yang berkedaulatan rakyat, maka akan dipastikan obsesi kita tertuju pada tujuan awal, yakni tentang tiga hal mendasar diantaranya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pada intinya semua keputusan terkuat dari rakyat.
Lalu fakta apa yang muncul dibenak kita untuk menanggapi kerancauan penanganan kasus seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), poligami, dan sejenisnya?. Kasus Hambalang, Bank Century, dan kasus suap daging sapi seharusnya mendapatkan perhatian intensif dari pemerintah. Selesaikan perkara penyelewengan tersebut dengan tegas dan tuntas tanpa adanya pandang bulu siapapun itu orangnya, benar katakana benar dan salah nyatakan salah.
Segmen kasus yang sekiranya kurang penting selalu digembar-gemborkan diberbagai media seperti televise, radio, surat kabar, majalah, dan media-media yang lainnya sebagai bentuk pengalihan  mata terhadap pandangan rakyat agar lupa dan lalai terhadap masalah KKN. Namun ada pepatah mengatakan bahwa sepandai-pandainya para politikus membungkus bangkai, suatu saat nanti pasti akan tercium juga dihidung rakyat. Semua akan terkuak tuntas dengan merambatnya pola pikir para generasi baru yang semakin cerdas dan bijaksana.
Berita kasus Eyang Subur sempat hangat dinegeri ini, padahal jika kita kaji kasus Eyang Subur tak seberat kasus Bank Century, Hambalang, dan suap daging sapi. Fenomena berita tersebut digelorakan dimasyarakat dengan tujuan adanya simbiosis parasitisme, artinya kasus Eyang Subur tersebut hanya sebagai  pengelabuhan terhadap rakyat agar tidak terfokus pada perhatian kasus KKN, melainkan digiring untuk melihat kasus poligami, dan tentunya semua itu sudah diaransemen sedemikian rupa, biar para koruptor bias bernafas dengan lega dibelakang punggung kasus perkara Eyang Subur.
Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah bahwa permainan hukum oleh oknum-oknum tertentu sangat kuat dan birokratif, sehingga KKN, poligami, penyuapan, dan kasus-kasus besar lainnya terkesan berbelit-belit dan tidak ada ujung penyelesaiannya sampai sekarang ini.
Dalam keilmuan Negara manusia juga disebut Zoon Politicon yaitu sebagai pelaksana berpolitik yang berdasar pada hukum dan akal. Hukum dalam arti aturan yang jelas, dan akal dalam arti kecerdasan berfikir. Kefasihan berpikir inilah yang sering membuat sesuatu tujuan politik yang seharusnya fokus menjadi tidak fokus atau amburadul. Sebagian ada yang berambisi mengeruk uang rakyat dan setelah terbongkar kedoknya penanganan kasusnya sangat lambat dan bahkan tidak ada tindakan tegas dari aparat, hal semacam ini menandakan bahwa hukum di Indonesia masih bisa dibeli dengan uang, serta komponen yang akan terbentuk adalah komponen mesin politik Indonesia mengalami lemah syahwat sebagai imbas dari kecurangan-kecurangan yang dilakukan para pakar politikus yang menggasak uang rakyat. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar