PERATURAN DEWAN PERS
Nomor: 6 Peraturan-DP/V/2008
PENGESAHAN SURAT KEPUTUSAN DEWAN PERS NOMOR
03/SK-DP/III/2006 TENTANG KODE ETIK JURNALISTIK SEBAGAI PERATURAN DEWAN PERS
Menimbang:
Bahwa agar Kode Etik Jurnalistik yang telah
disepakati dan difasilitasi oleh Dewa Pers
dalam Surat Keputusan Dewan Pers Nomor
03/SK-DP/III/2006 dapat berlaku secara lebih efektif,
maka perlu ditetapkan dalam bentuk Peraturan Dewan
Pers.
Mengingat:
- Pasal 7 ayat (2), pasal 15 ayat (2) huruf f UU No.40 th.1999 tentang Pers.
- Kepres No.7/M th. 2007 tgl 9 Pebruari 2007, tentang Keanggotaan Dewan Pers periode 2006-2009.
- Keputusan Sidang Pleno Dewan Pers, Senin, tgl 12 Mei 2008 di Jakarta
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
Peraturan Dewan Pers tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers
No.03/SK-DP/III/2006 tertanggal 24 Maret 2006
tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai
Peraturan
Dewan Pers.
Pertama :
Mengesahkan Surat Keputusan Dewan Pers No.03/SKDP/III/2006 tertanggal 24 Maret
2006
tentang Kode Etik Jurnalistik dengan segala
lampirannya sebagai Peraturan Dewan Pers.
Kedua :
Peraturan Dewan Pers ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Mei 2008
Ketua
Dewan Pers
Dto
Prof
Dr. Ichlasul Amal, MA.
SURAT
KEPUTUSAN DEWAN PERS
Nomor: 03/SK-DP/III/2006
tentang
KODE ETIK JURNALISTIK
Menimbang:
- Bahwa telah terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam kehidupan Pers Nasional selama enam tahun terakhir sejak dikeluarkannya UU No.40 th.1999 tentang Pers.
- Bahwa Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang disepakati oleh 29 Orgaisasi Wartawan di Bandung pada tanggal 6 Agustus 1999 dinilai perlu dilengkapi sehingga dapat menampung berbagai persoalan Pers yang berkembang saat ini, terutama yang terjadi pada Media Pers Elektronik.
- Bahwa berbagai Perusahaan Pers dan Organisasi Wartawan masing-masing telah mempunyai Kode Etik.
- Bahwa dengan demikian perlu ditetapkan Kode Etik Jurnalistik yang baru yang berlaku secara Nasional, sebagai landasan moral atau etika profesi dan menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesional wartawsan.
Mengingat:
- UU No.40 th.1999 tentang Pers;
- Kepres No.143/M th.2003 tgl 13 Agustus 2003, tentang Keanggotaan Dewan Pers periode tahun 2003-2006
Memperhatikan:
- Keputusan Sidang Pleno I Lokakarya V yang dihadiri 29 Organisasi Pers, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia pada hari; Selasa, 14 Maret di Jakarta;
- Sidang Pleno Dewan Pers pada hari; Jumat, 24 Maret 2006 di Jakarta.
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
Pertama : Kode Etik Jurnalistik
sebagaimana terlampir sebagai pengganti dari Kode Etik Wartawan
Indonesia.
Kedua : Kode Etik Wartawan
Indonesia sebagaimana terdapat dalam Surat Keputusan Dewan Pers
No.1/SK-DP/2000 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ketiga : Keputusan Dewan Pers ini
mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Maret 2006
Ketua
Dewan Pers
Dto
Prof
Dr. Ichlasul Amal, MA.
KODE
ETIK JURNALISTIK
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi,
dan Pers adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilindungi Pancasila, UUD 1945,
dan Deklarasi Universal HAM PBB. Kemerdekaan Pers adalah sarana masyarakat
untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Dalam mewujudkan kemerdekaan Pers itu,
wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggungjawab
sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban
dan peranannya, Pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu Pers
dituntut profesional dan terbuka
untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan Pers dan memenuhi
hak publik untuk memperoleh informasi yang benar.
Wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasioanl dalam menjaga kepercayaan
publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Atas dasar itu wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
KODE ETIK
JURNALISTIK
News Writing and Jurnalism
(sunday, 5 mart 2001)
@ by bengkel seni “PANDU” member of art ambassador Pemalang cq. abdul
lukman prabowo
add: Kasowetan Sarwodadi
Rt.11/Rw.02 No.120 Comal Kp.52363 Pemalang
WARTAWAN INDONESIA MENETAPKAN
DAN MENAATI
KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap
Independen, menghasilkan berita dengan akurat,
berimbang, dan tidak
beritikad buruk.
Penafsiran:
a. Independen
berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa
campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik
perusahaan pers.
b. Akurat
berarti
dipercaya benar sesuai keadaan obyektif ketika peristiwa terjadi.
c.
Berimbang
berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d.
Tidak beritikad buruk
berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan
kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesian menempuh
cara-cara yang profesional
dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.
Penafsiran:
Cara-cara yang profesional adalah:
a. Menunjukkan
identitas diri kepada narasumber.
b. Menghormati
hak privasi.
c.
Tidak menyuap.
d. Menghasilkan
berita yang factual dan jelas sumbernya.
e.
Rekayasa pengambilan berita dan pemuatan
atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber
dan ditampilkan secara berimbang.
f.
Menghormati pengalaman traumatik
narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara.
g.
Tidak melakukan plagiat, termasuk
menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.
h.
Penggunaan cara-cara tertentu dapat
dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
PROFESI WARTAWAN
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu
menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan
opini yang menghakimi,
serta menerapkan asas praduga
tak bersalah.
Penafsiran:
a. Menguji
informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang
adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak
secara proporsional.
c.
Opini yang menghakimi adalah pendapat
pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu
pendapat yang punya interprestasi
wartawan atas fakta.
d.
Asas praduga tak bersalah adalah prinsip
tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak
membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran:
a.
Bohong
berarti
sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak
sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti
tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c.
Sadis
berarti
kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti
penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis,
atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e.
Dalam penyiaran gambar dan suara dari
arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
dan tidak menyebutkan
identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran:
a.
Identitas
adalah
semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang
lain untuk melacak.
b.
Anak
adalah
seseorang yang berusia kurang dari 16 th dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak
menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran:
a.
Menyalahgunakan profesi adalah segala
tindakan yang mengambil keuntungan
pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b.
Suap adalah segala pemberian dalam
bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki
hak tolak untuk melindungi narasumber
yang tidak bersedia diketahui
identitasnya maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo,
informasi latar belakang, dan
“off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran:
a.
Hak
tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan
keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah
penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c.
Informasi
latar belakang adalah segala informasi atau data dari
narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumber.
d.
“Off
the record” adalah segala informasi atau data dari
narasumber yang tidak boleh disiarkan
atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau atau menyiarkan
berita berdasarkan prasangka
atau diskriminasi terhadap
seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin,
dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit,
cacat jiwa, atau cacat
jasmani.
Penafsiran:
a.
Prasangka adalah anggapan yang kurang
baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia
menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya,
kecuali untuk kepentingan
public.
Penafsiran:
a.
Menghormati hak narasumber adalah sikap
menahan diri dan berhati-hati.
b.
Kehidupan pribadi adalah segala segi
kehidupan seseorang yang terkait dengan kepentingan public.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera
mencabut, meralat, dan memperbaiki, berita yang keliru
dan tidak akurat disertai
dengan permintaan maaf keapda pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran:
a.
Segera, berarti tindakan dalam waktu
secepat mungkin, baik karena ada maupun
tidak ada teguran dari pihak luar.
b.
Permintaan maaf disampaikan apabila
kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani
hak jawab dan hak koreksi secara profesional.
Penafsiran:
a.
Hak
jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang yang memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak
setiap orang untuk membetulkan kekeliruan oleh pers, baik tentang dirinya
maupun tentang orang lain.
c.
Proporsional
berarti
setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggan Kode Etik Jurnalistik dilakukan
DEWAN
PERS. Sangsi atas pelanggaran Kode
Etik Jurnalistik dilakukan oleh Organisasi Wartawan dan atau Perusahaan
Pers.
Jakarta, Selasa 14 Maret 2006
Kami atas nama Organisasi Wartawan dan
Organisasi Perusahaan Pers Indonesia:
1.
Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) – Abdul Manan.
2.
Aliansi Wartawan Independen (AWI)
– Alex Sutejo.
3.
Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) – Umi Z. Lubis.
4.
Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI) – Syahyan Budiwahyu
5.
Asosiasi Wartawan Kota (AWK)
– Dasmir Ali Malayne.
6.
Federasi Serikat Pewarta (FSP)
– Masfendi.
7.
Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)
– Fowa’a Hia.
8.
Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPNI) – RE. Hermawan S.
9.
Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI) – Syahril.
10.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) – Bekti Nugroho
11.
Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA) – Boyke M. Nainggolan.
12.
Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI) – Kasmarios, Sm.Hk.
13.
Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI) – M. Suprapto.
14.
Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) – Sakata Barus.
15.
Komite Wartawan Indonesia (KWI)
– Herman Sanggam.
16.
Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS WI) – AM. Syarifuddin.
17.
Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI) – Hans Max Kawengian.
18.
Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI) – Hasnul Amar.
19.
Perhimpunan Jurnalistik Indonesia (PJI) – Ismed Hasan Potro.
20.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) – Wina Armada Sukardi.
21.
Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI) – Andi A. Malarangan.
22.
Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK) – Jaya Supardja Ramli.
23.
Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWI RI) – Ramses Ramona S.
24.
Perkumpulan Jurnalistik Nasrani Indonesia (PJNI) – EV. Robinson Togap Siagian.
25.
Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI) – Rusli.
26.
Serikat Penerbit Suratkabar (SPS)
– Mahtum Mastoem.
27.
Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS) – Laode Hazirun.
28.
Serikat Wartawan Indonesia (SWI)
– Daniel Chandra.
29.
Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII) – Gunarso Kusumodiningrat.
Pengertian Kode Etik Jurnalistik UU
No.40 th.1999 “Kode Etik Jurnalistik
adalah himpunan etika profesi kewartawanan” kode etik jurnalistik dalam
masyarakat demokratis pertanggungjawaban Insan Pers (Wartawan). Kebebasan Pers
memiliki hubungan yang erat dengan fungsi Pers dalam masyarakat demokratis.
Pers adalah salah satu kekuatan demokratis terutama kekuatan untuk mengontrol
dan mengendalikan jalannya pemerintahan. Berfungsi menyediakan informasi dan alternative serta evaluasi
yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam partisipasinya dalam proses
penyelenggaraan Negara.
Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat
seorang wartawan hendaknya menempuh jalan dan cara yang jujur untuk memperoleh
bahan-bahan berita dan tulisan, dengan meneliti kebenaran dan akuratnya sebelum
menyiarkan serta harus memperhatikan kredibilitas
sumbernya.
Di dalam menyusun suatu berita hendaknya
dibedakan antara kejadian (fakta) dan
pendapat (opini) sehingga tidak
mencampurkan antara keduanya, termasuk kedalamnya adalah obyektifitas dan
sportifitas berdasarkan kebebasan yang bertanggungjawa. Penyiaran suatu berita
yang berisi tuduhan yang tidak berdasar, desas-desus, hasutan yang dapat
membahayakan keselamatan bangsa dan negara, fitnahan, pemutarbalikan suatu
kejadian adalah merupakan pelanggara berat terhadap profesi jurnalistik.
Menanggapi besarnya kesalahan yang dapat
ditimbulkan dari proses/cara pemberitaan serta menyatakan pendapat di atas,
maka dalam kode etik jurnalistik diatur juga mengenai hak jawab dan hak
koreksi, dalam artian bahwa pemberitaan/penulisan yang tidak benar harus
ditulis dan diralat kembali atas keinsyafan wartawan yang bersangkutan, dan
pihak yang merasa dirugikan wajib diberi kesempatan untuk menjawab dan
memperbaiki pemberitaan dimaksud.
Sumber berita.
Seorang wartawan diharuskan menyebut
dengan jujur sumber pemberitaan dalam pengutipan, sebab perbuatan mengutip
berita gambar atau tulisan tanpa menyebutkan sumbernya merupakan suatu
pelanggaran kode etik. Sedang dalam hal berita tanpa penyebutan sumbernya maka
pertanggungjawaban terletak pada wartawa dan atau penerbit yan g bersangkutan.
Kekuatan kode etik.
Kode etik dibuat atas prinsip bahwa
pertanggungjawaban tentang penataannya berada terutama pada hati nurani setiap
wartawan Indonesia. Dan bahwa tidak ada satupun pasal dalam kode etik
(jurnalistik) yang memberi wewenang kepada golongan manapun di luar PWI untuk
mengambil tindakan terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap Penerbitan
Pers. Karenanya sanksi atas pelanggaran kode etik adalah hak yang merupakan hak
organisatoris dari PWI melalui organ-organnya.
Upaya
pemerintah dalam kebebasan Pers:
Regulasi: UU No.9 th 1998, UU No.40 th 1999.
Lembaga: PWI, KPI, Dewan Pers. Dewn Pers
(menurut UU No40/1999)
DEWAN PERS (MENURUT
UU NO.40/1999)
Lembaga
Dewan Pers yang independen dibentuk berdasarkan
perintah UU No.40 pasal 15 th.1999. Pembentukan Dewan Pers adalah bagian dari
upaya mengembangkan kemerdekaan Pers dan meningkatkan kehidupan Pers Nasional.
Fungsi
A s.d. G (sudah jelas)
Dewan
Pers Independen, yang lahir dalam semanat reformasi, bersifat mandiri dan tidak
ada lagi unsur pemerintah dalam keanggotaannya. Dengan dukungan masyarakat Pers
Indonesia, otoritas Dewan Pers semata-mata terletak pada kemauan perusahaan dan
redaksi media Pers untuk menhargai pandangan Dewan Pers serta secara sukarelah
mematuhi Kode Etik Jurnalistik dab mengakui kesalahan, sengaja atau tidak,
secara terbuka.
Status keanggotaan Dewan Pers ditetapkan
melalui Kepres dan keanggotaan Dewan Pers hanya berlaku untuk untuk masa tiga
tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode
berikutnya. Kegiatan-kegiatan Dewa Pers dilaksanakan dengan dukungan dana darim
organisasi Pers; Perusahaan Pers; bantuan dari negara dan bantuan lain yang
tidak mengikat.
ETIKA
PROFESI
Pengertian Kode Etik Profesi; Keiser
dalam (Suhrawardi Lubis, 1994: 6-7, Etika Profesi adalah sikap hidup
berupa keadilan untuk memberikan pelayanan
profesional terhadap masyarakat dengan ketertiban penuh dan keahlian sebagai
pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.
Sedang Magnis Suseno (1991: 70)
membedakan profesi sebagai pada umumnya dan profesi luhur. Profesi umum adalah
kegiatan untuk menghasilkan nafkah hidup dan mengandalkan suatu keahlian khusus
terdapat pula yang disebut sebagai profesi luhur, yaitu profesi yang pada
hakikatnya merupakan suatu pelayanan pada manusi atau masyarakat.
Tujuan Etika Profesi, Suhrawadi Lubis (1994:
13):
a.
Menjelaskan dan menetapkan tanggungjawab
kepada lembaga dan masyarakat umum.
b.
Membantu para profesional dalam
menentukan apa yang harus mereka perbuat dalam menghadapi dilema pekerjaan
mereka.
c.
Menjaga reputasi atau nama para
profesional.
d.
Untuk menjaga kekuatan dan integritas
para tenaga profesi.
e.
Merupakan pencerminan dan pengharapan
dari komunitasnya, yang menjamin pelaksanaan kode etik tersebut dalam
pelayanannya.
Fungsi Etika Profesi:
a.
Sebagai sarana kontrol sosial.
b.
Mencegah pengawasan atau campur tangan
pihak luar.
c.
Untuk membangu patokan kehendak yang
lebih tinggi.
Sekilas
Perkembangan Jurnalistik
1.
Kelahiran Wartawan Pertama
Dapat disebutkan bahwa wartawan-wartawan pertama
lahir ketika zaman kepemimpinan Julius
Caesar (100-44SM). Waktu itu sudah terdapat media bentukan pemerintah
yaitu Acta Senatus yang berisi hasil
rapat senat dan Acta Diurna yang berisi hasil rapat rakyat dan berita lainnya.
Ara pemilik budak pada zaman itu menyuruh budaknya untuk mencari informasi
tentang apapun sesuai keinginan majikannya yang nantinya dilontarkan dalam
bentuk lisan maupun tulisan.
2.
Zaman Penjajahan di Indonesia
Sejarah jurnalistik di Indonesia dimulai pada abad
ke-18, tepatnya pada 1744 ketika Bataviasche
Nouvelles diterbitkan oleh penjajah Belanda. Pada 1776 juga terbit Vendu Niews yang berisi tentang berita pelelangan, juga diterbitkan oleh
Belanda sebagai penjajah Indonesia. Sedangkan surat kabar pertama sebagai
bacaan orang pribumi ialah majalah Bianglala
pada 1854 dan Bromartani pada
1885, keduanya di Weltevreden. Pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya.
Sejarah jurnalistik Indonesia pada abad 20 ditandai
dengan munculnya Medan Prijaji yang
didirikan oleh dan modal orang Indonesia, yaitu Tirtohadisuryo, untuk bangsa
Indonesia. Mulanya pada 1907, surat kabar ini berbentuk dan baru pada 1910
berubah menjadi harian.
3.
Dari Bulan Madu ke Gelap Gulita
Pers Indonesia yang pada era kemerdekaan 1945,
menjadi pers yang berusaha dan berorientasi untuk mengisi dan mempertahankan
kemerdekaan berubah haluan menjadi Pers Partisan pada tahun 1950. Pers pada
saat itu hanya merupakan corong bagi partai politik, hanyut dalam dunia politik
praktis.
Era Pers Partisan tidak berlangsung lama karena
setelah Dekrit Presiden 1 Juli 1959, Pers Indonesia memasuki masa gelap gulita.
Setiap perusahaan penerbitan harus memiliki Surat Izin Terit (SIT). Apabila
ketika setiap surat kabar harus menginduk pada organisasi politik atau
organisasi massa. Hal ini membuat wartawan sulit untuk mengeluarkan pikirannya
lewat media tempat ia bekerja. Wartawa harus mengikuti kebijakan redaksi yang
menginduk pada suatu paham organisasi tertentu.
4.
Kebebasan Jurnalistik Pasca 1965
Pada era setelah 1965 banyak sekali terjadi
perubahan. Perubahan ini disebabkan oleh tiga hal.
a.
Pertama,
peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G-30S
b.
Kedua,
kebebasan Pers menjadi lebihleuasa dibanding dengan periode sebelumnya
c.
Ketiga,
barangkali juga embrio sikap profesionalisme dalam redaksi dan dalam
pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, serta pengelolaan keuangan (Oetama,
1987: 26).
Konflik-konflik yang terjadi mendorong masyarakat
untuk mencari informasi lewat Pers. Kemudian terjadilah proses lahir dan
didiskusikannya gagasan politik, ekonomi, budaya. Surutnya partai-partai
membuat media massa tidak lagi berafiliasi dengan parpol. Kondisi ini membuat
Pers dapat menjadi media yang independen cenderung mengambil jarak dengan
parpol yang pada akhirnya menjadi alat kontrol sosial.
Sistem ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah pada
saat itu, yaitu sistem ekonomi yang merujuk pada sistem pasar internasional,
turut mempengaruhi pertumbuhan Pers Indonesia. Bagian substansial dari ekonomi
pasar adalah persaingan produk, promosi, dan periklanan. Bisnis iklan dan
mimbar promosi lewat iklan, berkembang, diantaranya adalah surat kabar. Surat
kabar bermunculan akibat dari kondusifnya situasi untuk berbisnis surat kabar.
Surat kabar berkembang menjadi sarana ekonomi dan dapat tumbuh dengan subur.
Tetapi sebagai wahana ekspresi, penyalur pendapat umum, dan pengemban fungsi
kontrol sosial, Pers dihadapkan pada berbagai pembatasan dan tekanan dari pihak
penguasa (pemerintah). Sejarah menunjukkan bahwa kekuasan Orde Baru sangat
represif ketika Pers menyentuh bidang politik (kekuasaan) pemerintah. Ditandai
dengan dibredelnya mingguan Mahasiswa
Indonesia di Bandung dan diikuti 11 penerbit Pers Umum (peristiwa Malari).
Sejarah
Jurnalistik
Pengertian Jurnalistik
Pengertian Jurnalistik
Jurnalistik
atau Jurnalisme berasal dari kata Journal, artinya
catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga
berarti surat kabar. Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang
melakukan pekerjaan jurnalistik Di Indonesia, istilah ini
dulu dikenal dengan publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan,
hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya
karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari
Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan jurnalistik.
Sejarah
Jurnalistik Berdasarkan Sejarah Bangsa Romawi Dalam sejarah
Kerajaan Romawi disebutkan bahwa Raja Imam Agung menyuruh orang untuk membuat
catatan tentang segala kejadian penting. Catatan itu itu di buat dan
digantungkan di serambi rumah raja, sebagai pemberitahuan bagi orang yang lewat
dan memerlukannya.
Pengumuaman
dengan cara demikian kembali dilakukan Julius Caesar dalam masa kejayaannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para
anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita
tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu
disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau
dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk
diketahui oleh umum
Berita di
“Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”,
yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat
senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para
hartawan. Dari kata “Acta Diurna”
inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam
Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa
Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”,
“catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis”
dan “Journalist” (wartawan).
Lambat laun
para “Diurnarii” kemudian menyadari akan pentingnya informasi yang mereka
dapat, hal itulah yang memotivasi mereka untuk menjual catatannya dan tidak
lagi menjadi budak. Para Diurnarri berlomba-lomba mendapatkan informasi penting
secara cepat untuk disebarluaskan, yang kemudian menimbulkan korban pertama
kalinya dalam dunia jurnalistik. Dimana seorang Diurnarri yang bernama Julius
Rusticus dihukum gantung atas tuduhan mengabarkan berita yang masih belum boleh
dikabarkan atau masih rahasia. Berita itu adalah tentang rencana mutasi seorang
pembesar yang menurut Caesar belum waktunya diberitakan, karena masih dalam
pertimbangan, dan harus hati-hati karena akan timbul bahaya.
Sejarah Jurnalistik Dalam Kaca Mata Islam
Sejarah Jurnalistik Dalam Kaca Mata Islam
Dalam sejarah Islam, cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan. Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar
fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar
(wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor
berita pertama di dunia.
Sejarah Jurnalistik di Dunia
Secara etimologi, jurnalistik dapat diartikan sebagai suatu karya seni dalam hal membuat catatan tentang peristiwa sehari-hari. Karya seni dimaksud memiliki nilai keindahan yang dapat menarik perhatian khalayak (pembaca, pendengar, pemirsa), sehingga dapat dinikmati dan dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya.
Secara lebih luas, pengertian atau definisi jurnalistik adalah seni dan ketrampilan mencari mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya, sehingga terjadi perubahan sikap, sifat, pendapat, dan perilaku khalayak sesuai dengan para jurnalisnya. (Kustadi Suhandang, 2004: 21).
Masih banyak definisi atau pengertian jurnalistik, antara lain kejadian pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari (Astrid S. Susanto, 1986, Komunikasi Massa, Hal. 73). Onong Uchjana Effendy 1981: 102) menyatakan bahwa jurnalistik merupakan kegiatan pengolahan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarluasannya kepada masyarakat.
A.W. Widjaja (1986: 27) menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual dalam waktu secepat-cepatnya.
Ensiklopedi Indonesia secara rinci menerangkan bahwa jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sara penerbitan yang ada.
Seiring dengan
kemajuan teknologi informasi maka yang bermula dari laporan harian maka
tercetak manjadi surat kabar harian. Dari media cetak berkembang ke media
elektronik, dari kemajuan elektronik terciptalah media informasi berupa radio.
Tidak cukup dengan radio yang hanya berupa suara muncul pula terobosan baru
berupa media audio visual yaitu TV (televisi). Media informasi tidak puas hanya
dengan televisi, lahirlah berupa internet, sebagai jaringan yang bebas dan
tidak terbatas. Dan sekarang dengan perkembangan teknologi telah melahirkan
banyak media (multimedia).
Surat kabar
pertama kali terbit di Cina tahun 911, yaitu Kin Pau. Surat Kabar ini milik
pemerintah ketika zaman Kaisar Quang Soo. Tidak berbeda dengan di Jaman Caesar,
Kin Pau berisi keputusan rapat, hasil musyawarah dan berbagai informasi dari
Istana. Di Eropa tidak jelas siapa pelopor pertamanya.
Namun, padi 1605, Abraham Verhoehn di Antwerpen Belgia mendapat izin mencetak
Nieuwe Tihdininghen. Akhirnya, pada 1617, selebaran ini dapat terbit 8 hingga 9
hari sekali. Beranjak ke Jerman, di
tahun 1609, terbitlah surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung.
Pada 1618, muncul surat kabar tertua di Belanda bernama Coyrante uytItalien en
Duytschland. Surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar VanHilten di Amsterdam. Kemudian
surat kabar mulai bermunculan di Perancis tahun 1631, di Itali tahun 1636 dan
Curant of General newsterbit, surat kabar pertama di Inggris yang terbit tahun
1662.
Sejarah Jurnalistik di Indonesia
Di
Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa
pejuang kemerdekaan Indonesia pun
menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang
Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada
masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan
tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja,
Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Pers Nasional
muncul pada abad ke-20 di Bandung dengan nama Medan Priayi. Media yang dibuat
oleh Tirto Hadisuryo atau Raden Djikomono, diperuntukan sebagai alat perjuangan
pergerakan kemerdekaan. Tirto Hadisuryo akhirnya dianggap sebagai pelopor
peletak dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia.
Namun
sebuah sumber mengatakan bahwa Negarakertagama lah jurnalistik pertama di
Indonesia. Karya agarakretagama bukan sekadar karya biasa. Keluarbiasaan
Nagarakretagama terletak pada isi yang berupa laporan nyata tentang keadaan
Majapahit saat itu. Banyak pakar sependapat bahwa Nagarakretagama merupakan
karya jurnalistik pertama di Indonesia. Pendapat ini disimpulkan mengingat ciri
utama karya jurnalistik telah terpenuhi dalam Nagarakretagama, yakni adanya
peristiwa atau fakta yang dikomunikasikan dan mampu menarik perhatian orang
karena keaktualannya. Dalam mencari data Prapanca menggunakan metode pengamatan
dan wawancara dengan seorang tokoh pendeta. Kemerdekaan
Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan
Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan
Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah
Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa
kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembredelan media massa. Kasus
Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam
sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan
Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih,
Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Titik
kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak
media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya
organisasi profesi. Kegiatan jurnalisme
diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang
dikeluarkan Dewan Pers.
Seiring era reformasi yang
dikumandangkan dari Sabang sampai Merauke oleh para reformis,
menggantikan era totaliterisme Soeharto, maka dunia jurnalisme kita
mendapatkan angin segar dalam menyampaikan informasi kepada khalayak umum tanpa
takut adanya ancaman pembredelan.
Tidak kurang dari
32 tahun dunia jurnalisme kita mandul dan harus berfungsi sebagai corong
pemerintahan Orde Baru (Orba) yang jauh dari Idealisme Pers sebagai
kontrol sosial. Bahkan sejak akhir masa kekuasaan Soekarno (Orde Lama/Orla), pun dunia
jurnalisme kita telah diarahkan menjadi corong pemerintahan. Di era orde lama,
institusionalisme pers yang berkembang adalah bagaimana sebuah Lembaga Penerbit Pers dapat
melibatkan diri dalam pertentangan antar partai. Masing-masing media cetak
berfungsi sebagai corong perjuangan partai-partai peserta pemilu 1955. Beberapa
partai seperti PNI mempunyai Suluh Indonesia, Masyumi mempunyai Abadi, NU
mempunyai Duta Masyarakat, PSI mempunyai Pedoman dan PKI mempunyai Harian
Rakyat.
Jadi fungsi
media di era Orde Lama tak lain sebagai media perjuangan partainya
masing-masing.
Sejak pencabutan pengaturan mengenai SIUPP dan kebebasan penyajian berita serta informasi di berbagai bentuk pada tahun 1999 disahkan UU Pers No.40/1999. Mulai saat itu dunia jurnalisme kita lepas dari pemasungan yang selama akhir masa Orde Lama dan Orde Baru menjerat demokratisasi Pers kita.
Sejak pencabutan pengaturan mengenai SIUPP dan kebebasan penyajian berita serta informasi di berbagai bentuk pada tahun 1999 disahkan UU Pers No.40/1999. Mulai saat itu dunia jurnalisme kita lepas dari pemasungan yang selama akhir masa Orde Lama dan Orde Baru menjerat demokratisasi Pers kita.
Tak lama
kemudian dalam merayakan kemenangan sistem demokrasi muncul berbagai macam
ribuan media massa baik cetak maupun elektronik yang tak terbendung lagi
memberikan warna kebebasan dalam dunia jurnalisme kita. Namun gagasan
otonomi Pers selama ini disalahtafsirkan menjadi kebebasan
Pers yang tanpa batas etika. Bahkan hemat saya, kebebasan Pers di era
Reformasi telah jauh meninggalkan kode etik jurnalistik dan lebih liberal dari Pers Amerika yang
menganut paham Leberalisme Pers sekalipun. Hal itu
terlihat dari beberapa media pers kita yang menyebarkan berita mengarah ke
dunia pornografi, kriminal, kekerasan serta mengabaikan nilai-nilai perjuangan
kemanusiaan. Mengingat sesuai dengan UU No.40 th.1999 tentang Pers secara
tegas sebagai kedaulatan rakyat, dan berfungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Posisi
Jurnalis
Tantangan
idealisme pers masa kini bukan menentang atau harus berkiblat kepada kekuasaan
namun justru bagi para jurnalis dihadapkan dengan institusionalisme pers yang
cenderung komersil dan tantangan dari para kapitalisme yang mencoba mengarahkan
media sesuai dengan keinginannya. Mengingat antara institusionalisme pers dan
kapitalisme tentu mereka mempunyai interest untuk mengarahkan media sesuai
dengan kehendaknya. Namun yang jadi pokok permasalahannya ialah ketika media
menempatkan sebagai penyampai informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial
tidak diprioritaskan.
Dengan
demikian ungkapan yang selama ini populis dengan jurnalisme berjuang melalui
pena dalam kaitan dengan tanggung jawab etis para jurnalis tidak sekedar
berkaitan dengan dunia teknis tulis-menulis jurnalistik, namun justru merupakan
simbol di dalam proses interaksi yang sangat rumit di antara faktor-faktor
eksternal dan internal media pers, yakni Jurnalis sebagai kuli tinta harus
tegas memperjuangkan kebenaran sejati di atas institusionalisme pers dan
kapitalisme yang cenderung lebih menampakan komersialisasi dibandingkan dengan
media sebagai penyampai informasi secara akurat dan terpercaya. Menurut Hoheberg
berpendapat bahwa terdapat empat unsur penopang tipe ideal seoang jurnalis,
yaitu:
a) Tidak
pernah berhenti dalam mencari kebenaran,
b) Mampu
menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman,
c) Mampu
melaksanakan tugas-tugas yang berguna bagi masyyarakat,
d) Mampu
menjaga dan memelihara kebebasannya. Mengingat peran wartawan dalam
mengkonstruksi
berita sangat penting terhadap keselarasan
informasi kepada khalayak umum.
Sebagai Media Perjuangan
Di
tengah-tengah arus informasi yang tak terbendung lagi maka media mempunyai
peran yang sangat vital dalam menyampaikan berita yang dibutuhkan oleh khalayak
umum. Meskipun di era Reformasi tantangan jurnalisme kita masih menghadapi
institusionalisme pers yang cenderung kkomersial dan godaan syahwat
kapitalisme. Belakangan ini Setidaknya media baik cetak maupun elektronik telah
merambah memperjuangkan keadilan terhadap orang kecil. Misalnya belakangan ini,
beberapa televisi swasta kita telah berpartisipasi dengan menggalang “koin
untuk Prita” sebagai gerakan sosial anti-diskriminasi hukum yang dibebankan
terhadap Prita Mulyasari, alih-alih dianggap telah mencemarkan nama baik RS.
Omni Internasional dengan denda 204 juta. Bahkan gerakan sosial “koin untuk
Prita” merambah ke berbagai elemen sosial dari pengamen sampai pejabat negara.
Oleh karena
itu, pers tak hanya sekedar berfungsi sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan, kontrol sosial namun juga berperan sebagai media perjuangan. Tentu
bukan memperjuangkan sebuah partai dalam memenangkan Pemilu seperti yang
terjadi di era Orde Lama atau sebagai corong pemerintahan seperti yang terjadi
di era Orde Baru. Namun pers secara etis mempunyai beban moral untuk
memperjuangkan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di muka bumi
ini.
PERNYATAAN
SEDUNIA
TENTANG
HAK AZASI MANUSIA
Teks bahasa Indonesia
diterbitkan oleh Kementerian Penerangan RI
(Jakarta, 1952)
MUKADIMAH
Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak
yang sama dan
tidak terasingkan dari semua anggota keluarga kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian di dunia.
Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak
manusia telah mengakibatkan perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan
dalam hati kemanusiaan, dan terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan
mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan agama dan kebebasan dari
ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat jelata.
Menimbang bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi oleh peraturan
hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakkan sebagai usaha
yang terakhir guna menentang kelaliman
dan penjajahan.
Menimbang bahwa persahabatan antara negara-negara perlu
dianjurkan.
Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) telah menyatakan sekali lagi dalam Piagam
kepercayaan mereka akan hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan
penghargaan seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari laki-laki maupun
perempuan dan telah memutuskan akan memajukan
sosial dan tingkat penghidupan yang lebih baik
dalam kemerdekaan yang lebih
luas.
Menimbang bahwa negara-negara anggota telah berjanji akan
mencapai perbaikan
penghargaan umum terhadap dan pelaksanaan hak-hak
manusia dan kebebasan-kebebasan azas,
dalam kerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menimbang bahwa pengertian
umum terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini adalah
penting sekali untuk
pelaksanaan yang benar dari janji ini.
MAKA MAJELIS BESAR MEMPROKLAMIRKAN
PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK MANUSIA
ini sebagai suatu baku pelaksanaan umum bagi semua
bangsa dan semua negara, dengan tujuan bahwa setiap orang dan setiap badan
dalam masyarakat dengan senantiasa mengingat pernyataan ini, akan berusaha,
dengan jalan mengajar dan mendidik untuk mempertinggi penghargaan terhadap
hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dan dengan jalan tindakan-tindakan
progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan
pelaksanaannya yang umum dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari
negara-negara anggota sendiri maupun daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan
hukum mereka.
Pasal 1
Sekalian orang yang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat dan hak-hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal dan
budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
Pasal 2
(1) Setiap
orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam
pernyataan ini dengan tidak ada kekecualian apapun, seperti misalnya bangsa,
warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat lain, asal mula
kebangsaan atau kemasyarakatan, milik, kelahiran atau pun kedudukan lain.
(2) Selanjutnya
tidak akan diadakan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau pun
kedudukkan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal,
baik dari negara yang tidak merdeka, yang berbentuk trust, nonselfgoverning
atau yang di bawah pembatasan-pembatasan lain dari kedaulatan.
Pasal 3
Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan
keselamatan seseorang.
Pasal 4
Tiada seorang juapun boleh diperbudak atau
diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak
dalam bentuk apapun mesti dilarang.
Pasal 5
Tiada seorang juapun boleh dianiaya atau diperlakukan
secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan
atau pun jalan perlakuan atau hukum yang menghinakan.
Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia
pribadi terhadap undang-undang di mana saja ia berada.
Pasal 7
Sekalian orang adalah sama terhadap undang-undang dan
berhak atas perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada perbedaan. Sekalian
orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang
memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada
perbedaan semacam ini.
Pasal 8
Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh
hakim-hakim Nasional
yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar,
yang diberikan kepadanya
oleh Undang-Undang Dasar (UUD) Negara atau Undang-Undang (UU).
Pasal 9
Tiada seorang juapun boleh ditangkap, ditahan, atau
dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 10
Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya
didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka
dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan
dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya.
Pasal 11
(1)
Setiap
orang yang dituntut karena tersangka melakukan suatu pelanggaran pidana
dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang
dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka, dan di dalam
sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya.
(2)
Tiada seorang juapun boleh dipersalahkan
melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran
pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan
tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat
daripada hukuman yang seharusnya dikenakan, ketika pelanggaran pidana itu
dilakukan.
Pasal 12
Tiada seorang juapun dapat diganggu dengan
sewenang-wenang dalam urusan perseorangannya,
keluarganya, rumahtangganya, atau hubungan
surat-menyuratnya,
juga tidak diperkenankan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya.
Setiap orang berhak mendapat perlindungan undang-undang
terhadap gangguan-gangguan
atau pelanggaran-pelanggaran demikian.
Pasal 13
(1) Setiap
orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan
batas-batas tiap negara.
(2) Setiap
orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri,
dan
berhak kembali ke negerinya.
Pasal 14
(1) Setiap
orang berhak mencari dan mendapat tempat pelarian di negeri-negeri lain
untuk
menjauhi pengejaran.
(2)
Hak ini tidak dapat dipergunakan dalam
pengejaran yang benar-benar timbul dari kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik atau perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan tujuan dan dasar-dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pasal 15
(1) Setiap
orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
(2) Tiada
seorang juapun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari kewarganegaraannya
atau ditolak haknya untuk mengganti
kewarganegaraannya.
Pasal 16
(1) Orang-orang
dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan
atau agama, berhak untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarga. Mereka
mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam perkawinan dan dikala
perceraian.
(2) Perkawinan
harus dilakukan hanya dengan cara suka sama suka dari kedua mempelai.
(3) Keluarga
adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak
mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.
Pasal 17
(1) Setiap
orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2) Seorangpun
tidak boleh dirampas miliknya dengan yang semena-mena.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan
batin, dan agama;
dalam hak ini termasuk kebebasan berganti
agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepecayaannya
dengan cara mengajarkannya melakukannya, beribadat, dan menepatinya, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan yang tersendiri.
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat;
dalam hak ini termasuk kebebasaan
mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari,
menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan
cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.
Pasal 20
(1) Setiap
orang mempunyai hak atas kebebasaan berkumpul dan berapat.
(2) Tidak
seorang juapun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.
Pasal 21
(1) Setiap
orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri,
baik dengan
langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
(2) Setiap
orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintah
negerinya.
(3) Kemauan
rakyat harus menjadi dasar kekuasaa pemerintahan; kemauan ini harus dinyatakan
dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak
pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang
rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan
suara.
Pasal 22
Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas
jaminan sosial
dan berhak melakukan dengan perantaraan usaha-usaha
nasional dan kerjasama internasional
dan sesuai dengan sumber-sumber kekayaan dari setiap
negara, hak-hak ekonomi, sosial,
dan kebudayaan yang perlu guna martabatnya,
dan guna perkembangan bebas pribadinya.
Pasal 23
(1) Setiap
orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas
syarat-syarat perburuhan yang adil serta baik dan atas perlindungan terhadap
kepada pengangguran,
(2) Setiap
orang dengan tidak ada perbedaan, berhak atas pengupahan yang sama
untuk
pekerjaan yang sama.
(3) Setiap
orang yang melakukan pekejaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik yang
menjamin penghidupannya bersama dengan keluarganya, sepadan dengan martabat
manusia,
dan
jika perlu ditambah dengan bantuan-bantuan sosial lainnya.
(4) Setiap
orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat sekerja
untuk
memperlindungi kepentingannya.
Pasal 24
Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan,
termasuk juga pembatasan-pembatasan jam bekerja yang layak dan hari-hari
berkala dengan menerima upah.
Pasal 25
(1) Setiap
orang berhak atas tingkat yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk
dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan, dan
usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami
pengambilan pegangan hidup, janda, lanjut usia atau mengalami kekurangan nafkah
lain-lain karena keadaan yang di luar kekuasaannya.
(2) Ibu
dan anak-anak berhak mendapat perawatan dari bantuan istimewa. Semua anak-anak,
baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat
perlindungan sosial yang sama.
Pasal 26
(1) Setiap
orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan percuma,
setidak-tidaknya dalam tingkatan rendah dan tingkatan dasar. Pengajaran sekolah
rendah harus diwajibkan. Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua
orang dan pengajaran tinggi harus dapat dimasuki
dengan
cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kecerdasan.
(2) Pengajaran
harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk
memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi.
Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima
serta
rasa persahabatan antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau
golongan penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB)
dalam
memelihara perdamaian.
(3) Ibu
bapak mempunyai hak utama untuk memilih macam pangajaran yang akan diberikan
kepada
anak-anak mereka.
Pasal 27
(1) Setiap
orang berhak untuk turut serta dengan bebas dalam hidup kebudayaan di
masyarakat, untuk mengecap kenikmatan kesenian dan untuk turut serta dalam
kemajuan ilmu pengetahuan
serta
mendapat manfaatnya.
(2) Setiap
orang berhak untuk diperlindungi kepentingan-kepentingannya moril dan materiil
yang didapatnya sebagai hasil dari sesuatu produksi dalam lapangan ilmu pengetahuan,
kesusasteraan
atau kesenian yang diciptakan sendiri.
Pasal 28
Setiap orang berhak atas sesuatu susunan sosial
internasional di dalam dimana hak-hak dan kebebasan yang termaktub di dalam
pernyataan ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Pasal 29
(1) Setiap
orang mempunyai kewajiban terhadap suatu masyarakat dimana ia mendapat
kemungkinan untuk mengembangkan pribadinya dengan penuh dan bebas.
(2) Di
dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya setiap orang harus tunduk
hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi
hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat
benar dari kesusilaan,
tata
tertib umum dalam suatu masyarakat demokratis.
(3) Hak-hak
kebebasan-kebebasan ini sekalipun tidak boleh dijalankan dengan cara yang
bertentangan dengan tujuan-tujuan dan dasar-dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Pasal 30
Tidak sesuatu pun dalam pernyataan ini boleh diartikan
memberikan salah suatu negara, golongan atau pun seseorang, sesuatu hak untuk
melakukan sesuatu kegiatan atau sesuatu perbuatan yang bertujuan untuk merusak
salah suatu hak dan kebebasan yang termaktub dalam pernyataan ini.
by abdul lukman prabowo, cml 2 sept 2011
@ horizon/xii/326
- UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN
- UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG PERS
Pers adalah lembaga sosial yang melaksanakan kegiatan
kejurnalistikan dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia. Orang yang melaksanakan kegiatan kejurnalistikan
disebut Waratawan. Wartawan memiliki hak Hak
Tolak, hak untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya
dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Begitupun juga dengan
sesorang atau sekelompok orang di dalam pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya mempunyai Hak Jawab untuk memberikan tanggapan atau sanggahan. Dan
setiap orang berhak untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh Pers, baik tentang dirinya maupun tentang
orang lain dinamakan Hak Koreksi, bahkan ada suatu Kewajiban Koreksi apabila
terjadi pemberitaan yang tidk benar oleh Pers
yang bersangkutan. Sehingga pers mempunyai kewajiban untuk menjawab hak tolak
dan hak jawab tersebut.
Perusahaan Pers
adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha Pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik,
dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya. Ada Pers Nasional yaitu Pers
yang diselenggarakan oleh Perusahaan Pers Indonesia dan ada juga Pers Asing yaitu Pers
yang diselenggarakan oleh Perusahaan Asing. Sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan Pers dan meningkatkan kehidupan Pers Nasional maka
dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers berfungsi menetapkan dan mengawasi
pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, melakukan pengkajian untuk pengembangan
kehidupan Pers, melindungi Kemerdekaan
Pers dari campur tangan pihak lain dan lain-lain. Pembiayaan Dewan Pers berasal dari; Organisasi Pers, Perusahaan Pers,
dan bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat. Segala peraturan Perundang-Undangan di bidang Pers
yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap
menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan
yang baru, jadi segala kegiatan diatur di Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 Tahun 1999 ini.
(loOk)
"Hi!..
BalasHapusGreetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
Ejurnalism