Jumat, 14 Juni 2013

Noimah, SPd.I.: Wanita Wani Nata



Noimah L. Prabowo, SPd.I.


Peringatan Kartini Th 2013:

Wanita Wani Nata


Pemalang, Dialog.
Memang, barat selalu unggul dalam tekhnologi dan banyak kesuksesan yang diperolehnya. Kita sendiri banyak merasakan dampak dari semua itu. Dan timur selalu kalah dalam hal tersebut,” ujar Noimah L Prabowo, SPd.I. guru Agama MI NU Jatirejo, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang, di sela-sela kesibukan mengajar.
Lain halnya timur selalu menjunjung tinggi nilai harkat dan martabat, sopan dan santun. Serta hati-hati menjaga perasaan orang yang ditimbulkannya. Kepribadiannya dan jiwa (orang timur) semakin matang dan moralnya pun tidak sebobrok negeri barat dari sudut pandang tertentu secara umum, lanjut pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan juga mantan atlet Pencak Silat Porda di tahun sembilan puluhan.
Itu semua terjadi secara naluri walau adanya arus kesejagadan (globalisasi) dan dimulainya abad pasifik kita selalu eksis, karena kebutuhan paralel guna menghargai tradisi, norma-norma dan nilai-nilai
dalam masyarakat. Semua berakar pada kepercayaan dan kebijakkan yang tumbuh turun-temurun. Ilmu tanpa moral - akan sia-sia, dan sebaliknya moral tanpa ilmu - tidak akan bermanfaat,” imbuhnya.
Maka seorang perempuan tidak cukup modal moral, akan tetapi harus dilengkapi dengan ilmu. Ilmu beladiri pencak silat, sebagai budaya warisan luhur yang adiluhung dari bangsa kita sangat tepat. Apalagi, perempuan kalau ditinjau dari ilmu etimologi adalah Pe-Empu-An dengan sisipan “R” itu mengandung makna empu dari segalanya. Yakni mampu mencetak negeri menjadi hancur dan atau sebaliknya.
Seperti dikisahkan oleh perempuan “Ken Dedes” beliau telah mencetak raja-raja Nusantara yang gung binantoro. Boleh dikata raja-raja negeri ini adalah turunan dan cetakan dari rahim seorang perempuan yang bernama “Ken Dedes” tersebut, oleh karena mendapatkan rakhmat dan hidayah dari Sang Pencipta alam semesta ini, sambung Noimah ketika Dialog mengejar makna hari Kartini.
Dan apabila ditilik dari asal kata Wanita bukan berarti Wani Ditata seperti yang lazim kita dengar, tapi yang benar adalah Wani Nata artinya harus berani mengatur jangan selalu diatur asal tidak melupakan kodratnya sebagai seorang wanita. Kalau orang Jawa bilang “Ora Elok” atau tidak patut dilakukan oleh seorang wanita jika meninggalkan kodratnya.
Lalu, bagaimanakah dengan ilmu beladiri pencak silat relevansinya dengan perempuan? Jawabnya: sah-sah saja, dan tetap elok. Sebab seorang pendekar tidak harus kekar gagah pideksa dan selalu menang dalam pertarungan, digdaya sekti mandraguna tanpa tanding, dan tidak pernah mengalami suatu kekalahan, lanjut Noimah yang juga pengurus Nahdatul Ulama (NU) Cabang Pemalang dengan semangat.
Lanjutnya, Pendekar sejati tidak mengabdi pada kemenangan akan tetapi mengabdi pada kebenaran. Meskipun tubuh kita hancur itu tetap pendekar sejati. Disinilah terdapat titik temu, yang mengesahkan seorang perempuan berhak menyandang gelar pendekar.
Lihat saja salah satu istri dari seorang pejuang Fatahilah dari Batavia, istri beliau adalah seorang “Srikandi Perang” dan lincah berkuda di medan perang melawan penjajah pada jamannya. Kemudian ada lagi wanita Nyai Banten, Nyai Lamped, dan lain sebagainya.
Perempuan baru menjadi perempuan sepenuhnya apabila dia sudah bisa menempatkan dirinya sendiri antara keseimbangan dan keselarasan kodratnya dengan lelaki. Hidup tidak bisa sendiri-sendiri tetapi ada pasangannya. Keseimbangan dan keselarasan itu sendiri ditentukan oleh perilaku atau perbuatan yang berdasarkan pada akal dan budi.
Di hari yang bersejarah ini, dalam rangka memperingati hari lahirnya Ibu Kita RA. Kartini mestinya kita wajib melestarikan dan melanjutkan perjuangan serta pola pemikirannya. Kartini telah membuka lebar wawasan dunia tentang wanita,” ditutupnya pembicaraan itu dengan senyum ramah. (look)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar