Makam Syeh Mohammad Ashral al Mbah Wali Gendhon Kesesi
Seratus enam puluh enam tahun
yang lalu pada sebuah pedukuhan terpencil jauh dari keramaian kota, jika malam
tiba hanya terdengar suara gangsir ngentir tiap malam dan jangkrik bernyayian
mengisi kesunyian. Tidak mau kalah, binatang si-kaki seribu pun ngerik
bersautan dengan belalang pohon. Sesekali mekarnya bunga kluwih melantunkan
suara merdu di tengah malam disertai hembusan angin mamiri membuat suasana
pedukuhan terasa dingin. Ditambah hutan gung liwang liwung (lebat) yang berada
tidak jauh dari pedukuhan tersebut, sehingga kesejukan masih terasa kental dan
sangat alami.
Jangankan deru mobil,
listrik pun saat itu belum bisa menjamah dukuh ini yakni Dukuh Kauman, Desa
Kesesi, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, lahirlah orok bayi
laki-laki ganteng dengan kulit sawo matang dari seorang ayah Tarab dan ibu
Tarkumi. Bayi mungil hasil cinta kasih sepasang suami istri itu kemudian diberi
nama Mohammad Ashral tepatnya terlahir di tahun 1847 M.
Ashral lahir di
lingkungan keluarga sederhana dan mandiri, hidup apa adanya (tidak aeng-aeng)
serta tidak mengenal dunia kemewahan. Bahkan ia pun setelah menginjak usia
baligh sudah ikutan turut menggembalakan hewan ternak piaraan orang lain, untuk
mengisi kesibukannya sebagai seorang anak seperti pada umumnya yang suka
bermain dan bermain.
Di mata teman sebayanya,
Ashral kecil ini dikenal sebagai anak pendiam dan dalam pergaulan ia selalu
mengalah di segala hal, juga sifat sebagai seorang pemaaf sudah ditunjukan
semenjak ia masih kecil meskipun banyak teman bermain tidak jarang yang
menyakiti, bahkan adapula yang menghinanya. Dalam diri Ashral tidak terbesil
secuil pun muncul perasaan dendam. Seketika itu pun langsung memaafkan kepada
teman sepermainan walau tidak diminta.
Waktu berjalan sesuai
irama denyut nadi. Bagai mengalirnya air sungai tanpa bisa dipenggak atau
dibendung oleh apapun. Datan tedas tinegas dening pedang ligan. Arus air
tersebut tetap akan menuju pada sebuah suratan yang telah ditentukan oleh Allah
Taala. Kini Ashral telah menginjak usia remaja akan tetapi sifatnya masih
seperti Ashral kecil dulu yang pendiam dan pemaaf. Barangkali sudah menjadi
karakter dan perwatakannya dan pengaruh dari pada sebuah pergaulan tidak mempan
merubah kepribadiannya yang sudah meresap dalam tulang dan daging bocah kecil
ini.
Bahkan tidak jarang
Ashral memperlihatkan sebuah keanehan (keunikan, keajaiban) yang tidak dimiliki
oleh anak-anak seusianya. Yang lebih menonjol yaitu ia lebih senang menjauh
dari kehidupan yang bersifat keduniawiyah (kesenangan dunia semata), seakan ia
sudah tahu betul sejak kecil bahwa dunia dan seisinya hanya cuma titipan-Nya
(donya kuwi mung guluh orang Jawa bilang, gampang luntur lan ilang sakejaping
netra yen ta Pangeran Kang Akarya Jagad ngersakake), oleh karena itu ia lebih
asyik mencari sesuatu yang lebih hakiki.
Ia lebih melihat ke
sebuah esensi bukan sekedar eksistensinya saja. Atau barangkali Ashral kecil
sedang mencari sebuah mutiara hidup yang bersemayam dalam dirinya sendiri.
Inilah keunikan Ashral kecil selalu menjauh dan menjauh dari sesuatu yang
bersifat kediawian.
Dipandang sudah dewasa
oleh orang tuanya, maka pada suatu ketika kedua orang tua Ashral memperkenalkan
pada seorang perempuan untuk dijadikan sebagai pendamping hidup Ashral. Sebab
usia sebaya Ashral di sebuah Pedukuhan Kauman Kesesi rata-rata sudah pada
menikah usia muda. Saat itu menikah di usia mudah bukan hal aneh atau menikah
usia muda bisa dianggap melanggar UU PPA seperti sekarang ini.
Usia sebelasan tahun di
Dukuh Kauman sudah banyak yang menikah, hal ini disebabkan oleh karena tradisi
dari leluhur sebelumnya dan turun temurun ke generasi berikutnya.
Tak lama kemudian sebuah
perkawinan (ijab kobul) pun dilaksanakan antara Ashral dengan wanita tersebut
(tidak dijelaskan nama wanita dan alamat). Namun, tiba-tiba semua terhenyak
kaget melihat ulah Ashral. Yang terjadi tidak seperti pada umumnya seorang
lelaki setelah meminang seorang perempuan.
Tatkala setelah ijab
kobul (akad nikah) dilaksanakan pada hari itu pulalah Ashral langsung pulang
kembali ke rumah orang tua bersama teman pengiring (pengantar pengantin) dan
tidak mau kembali lagi ke tempat istrinya yang baru saja dinikahi.
Kedua orang tua Ashral
pun kaget dan dibuat bingung olehnya. Beliau berusaha mencari tahu apa sebab
musabab anaknya pulang secepat itu. Selaksa pertanyaan pun mengelayut dibenak
kedua orang tua Ashral.
Akhirnya, teka teki itu
pun terjawab seketika.
“Nangapa kowe balik ora
gelem mbojo, lup?”
“Aku pingin mondok bae,
Mak. Aku kepingin aring pesantren sinau agama men pinter,” jawabnya singkat dan
menthes.
Sebab Mohammad Ashral pulang
seketika dikarenakan ia belum ingin berumah tangga. Pada saat itu yang
diinginkan Ashral muda bukan mencari pendamping hidup atau seorang istri, akan
tetapi ia terpanggil dari telenging ati (jiwa yang dalam) hanya ingin menimba
pengetahuan ilmu Agama Islam yang lebih mendalam dengan cara mondok di Pondok Pesantren
(Ponpes). Sebuah cita-cita luhur yang jarang ditemukan pada jiwa sebaya Ashral pada
saat itu.
Berangkat ke Cirebon.
Kemudian pagi-pagi benar
Ashral menemui kedua orang tua dan kerabatnya untuk pamitan dan memohon ijin
pergi ke Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat. Tujuan utama tak lain adalah
untuk ngangsu kawruh (menimba ilmu) Agama Islam dengan mondok (nyantri) di
tanah Cirebon tersebut.
Anak polah bapa kepradah,
akhirnya kedua orang tua Ashral dengan berat hati pun mengijinkan dan
merestuinya secara tulus ikhlas. Dengan sedikit uang sebagai ongkos perjalanan
dan dibekali makan untuk keperluan di jalan, maka Ashral dengan tekad bulat dan
nyawiji melangkahkan kaki seorang diri ke tempat yang dikehendaki, hanya
mengikuti kata hati dan ngetuti jangkahing laku raga kang katuntun suksma.
Inilah awal petualang
spiritual seorang anak Mohammad Ashral pergi ke luar dari sebuah pedukuhan
terpencil tempat tanah kelahiran yang ia cintai. Ia lebih mengutamakan mencari
dan mendalami ilmu Agama Islam dari pada segalanya. Sampai kedua orang tuanya
pun yang sangat mengasihi ia rela tinggalkan, bahkan istri sah yang baru saja
is nikahi juga ia tinggalkan begitu saja karena ada tugas yang lebih utama harus
ia kerjakan.
Perjalanan panjang ia
laluhi dengan jiwa lapang dada, dengan usus panjang, dengan waduk segoro dan
pikiran padang. Desa Kesesi Pekalongan menuju ke Tanah Cirebon Jawa Barat bukan
jarak dekat dijalani dengan berjalan kaki. Saat itu belum ada Angkot atau
Angdes seperti sekarang ini. Ke Jakarta tinggal beli karcis lalu naik dan tidur
tiba-tiba sudah sampai di Pulogadung Jakarta. Sekarang jamanya serba instan.
Lain halnya pada jaman
Ashral kecil. Butuh tenaga dan kesabaran ekstra jika ingin bepergian jauh.
Tidak mengenal siang atau malam, perut keroncongan pun diabaikan begitu saja.
Tapi semua kelelahan, rintangan, tidak terasa bagi Ashral, ibarat pepatah Jawa
bilang sakpira gedhining sangsara yen tinampa amung dadi coba (seberapa besarnya penderitaan jika diterima
dengan lapang dada hanyalah sebuah cobaan). Jarak yang jauh, waktu yang
lama dan melelahkan bukan aral rintangan baginya. Pada waktu itu pengasuh Ponpes Babakan Ciwaringin, Cirebon,
Jawa Barat adalah Kyai Munir.
Setelah sampai ketempat
tujuan, ia menyatu di lingkungan Ponpes akan tetapi sifat kecilnya tidak
berubah sama sekali juga perilaku dalam keseharian. Ia selalu menyendiri bahkan
di lingkungan Ponpes dikenal sebagai anak pemalas. Disebabkan oleh karena disaat
santri yang lain sedang melaksanakan perintah (tugas) dari ustad (guru) ia
malah acapkali tidur.
Hal itu sering membuat santri
lain kurang senang terhadap perilaku Ashral. Pada suatu ketika ia disuruh rekan
santri untuk menanam pohon pisang. Ashral menolak keras. Ia baru akan menuruti menanam
pohon pisang jika dengan sebuah persyaratan atau sebuah sayembara.
“Wit gedang tandurane
sapa sing uwoh dingen ngkonon kuweh sing menang,” itulah sayembaranya.
“Pohon pisang siapa yang akan berbuah terlebih dahulu itu
pemenangnya,” itulah sayembaranya.
Maka para santri sepakat
dengan sayembara tersebut. Dan ternyata, tidak disangka pohon pisang yang
ditanam oleh Ashral berbuah lebih cepat dari perkiraan teman santri dan diluar
akal sehat manusia lumrah.
Bagaimana tidak,keajaiban
itu pun terlihat nyata: paginya pohon pisang yang ditanam Ashral sudah berbuah
sekaligus langsung masak semua. Ini jelas-jelas di luar kewajaran. Hal itu
membuat santri-santri di Ponpes tercengang takjub, sekaligus Pengasuh Ponpesnya
juga keheranan. Dan kejadian-kejadian unik lain pun sering muncul dalam
keseharian di kehidupan Ashral.
Mohammad Ashral Hilang
Kurang lebih 5 (lima)
tahun berjalan mondok di Ponpes Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, suatu
ketika di lingkungan Ponpes terkena wabah penyakit kulit (gatal-gatal). Kemudian
oleh Pengasuh Ponppes disarankan agar seluruh santri mandi di suatu sendang (tempat
dan lokasi tidak disebutkan). Setelah mereka sampai di suatu sendang semua
santri berendam yang airnya hangat.
Kalau tidak nyleneh
bukan Ashral namanya.
Teman santri di Ponpes
sudah hafal betul dengan perilaku Ashral. Ia saat itu tidak mau turun
ke sendang untuk ikut mandi bersama-sama dan hanya duduk di tepi sendang.
Akhirnya kejahilan santri yang lain pun muncul spontanitas untuk ngerjain
Ashral agar mau mandi bersama-sama.
Mereka memaksa dan
mendorong Ashral masuk ke dalam sendang. Maka jatuhlah ia ke dalam sendang dan
menyelam.
Tetapi setelah ditunggu
beberapa saat tidak muncul-muncul ke permukaan. Para santri pun menjadi
bingung, takut dan tegang. Kekawatiran mereka muncul akan terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan pada sangtri Ashral. Pencarian pun serempak dilaksanakan saat
itu juga. Sampai air sendang dikeringkan akan tetapi tubuh Ashral tidak bisa
diketemukan.
Dengan penuh rasa
kawatir dan diliputi duka, Pengasuh Ponpes dan disertai santrinya datang
silaturahmi ke Dukuh Kauman, Desa Kesesi, Kecamatan Kesesi, Kabupaten
Pekalongan, Jawa Tengah, menemui kedua orang tuanya guna menyampaikan kabar
peristiwa hilangnya Ashral di sendang. Dan barangkali Ashral sudah ada di
kampung halaman. Akan tetapi di rumahnya di Kesesi pun tidak diketemukan
seorang Ashral.
Dengan penuh kesabaran
dan tawakal, berita hilangnya Ashral pun diterima dengan hati yang perih, pasrah
dan lapang. Mereka pasrah terhadap kekuasan Illahi yang Maha Tinggi. Setelah
mendengar kabar ini, para kerabat keluarga hanya dapat berharap dan berharap
semoga Mohammad Ashral tetap selamat dan masih hidup sehingga suatu saat masih
dapat berkumpul dengan keluarga.
Hari berganti hari,
minggu pun bergulir cepat, bulan berputar tanpa henti, hingga satu dasa warsa
(10 th-an) tak terasa berlalu begitu saja. Sebuah penantian yang sangat
panjang. Akan tetapi Mohammad Ashral masih tetap belum kunjung pulang. Entah di
telan bumi atau menetap dirimba mana, tiada yang tahu. Sebuah penantian yang
melelahkan dan bahkan keputus asaan pun telah menggelayuti seluruh keluarga
besar Ashral di Kauman Kesesi. Harapan untuk kembalinya seorang Ashral menjadi
pupus dan sirna karena termakan waktu sangat panjang. Nyaris terlupakan untuk
mengharap Arshal pulang.
Tim pennulis; Abdul Lukman Prabowo, Muhammad Aridin RS, Ali Sodikin, SPd.SD.
Kembali ke Rumah
Musim kemarau panjang
menimpa Kesesi dan sekitarnya saat itu. Kekeringan merata, banyak tanah yang
retak sehingga beberapa tumbuhan meranggas bahkan ada yang mengering dan
akhirnya mati. Gagal panen merebak. Kehidupan masyarakat di hadapkan dengan
sebuah wabah paceklik (kemiskinan dan kesusahan).
Di suatu malam yang
sunyi senyap (sunyo ratri) tidak biasanya tiba-tiba datang angin berhembus
kencang. Menerbangkan dedauan, mematahkan ranting-ranting kering, petir pun
bersambaran di langit. Suasana hampir porak poranda. Suaranya menggelegar
diikuti hujan deras secara tiba-tiba menakutkan nyali bagi warga Kesesi ketika
itu.
“Ya Allah bencana apa
lagi yang harus kami terima,” lirih jerit itu pun berkumandang dalam hati warga
Kesesi.
“Azab apa lagi yang
harus kami tanggung,” lanjut mereka.
Malam itu, boleh dikata
seluruh warga Kesesi tidak ada yang berani keluar rumah satu pun. Yang dirasa
hanyalah ketakutan yang mencekam menyelimuti malam gulita.
Di rumah sederhana yang
ditempati oleh orang tua Mohammad Ashral tiba-tiba dari luar terdengar suara
ketukan pintu. Penghuni rumah disaat suasana yang menakutkan itu layak tidak
mau membukakan pintu sedikitpun.
Karena pintu lama tidak
dibuka, maka tamu tersebut mengucapkan salam dengan halus dan menyebutkan nama.
“Assalamu’alaikum... aku
Mohammad Ashral, Mak, Pak...”
Setelah mendengar uluk
salam sang tamu tersebut, dengan penuh tanda tanya antara percaya dan tidak tercampur
sebuah keraguan, tetapi diberanikan diri untuk membuka pintu rumah. Kedua orang
tua itu sebelumnya membalas uluk salam sang tamu misterius, karena datang di
malam yang mencekam.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi
wabarakatuh...”
Betapa terkejutnya
setelah melihat siapa yang datang tak
lain Mohammad Ashral, walau dalam hati kecil kedua orang itu tetap terbesit
sebuah keraguan.
“Apa kiyeh Ashral, anaku
sing ilang genanu?” bisiknya dalam hati.
Bagaimana tidak. Satu
dasa warsa lebih bukan waktu singkat dan hampir terlupakan nama Ashral dalam
relung hati kedua orang tua tersebut.
“Apa kiyeh wong sejen
sing madani Ashral?” sebuah pertengkaran batin kedua orang itu pun terus berbisik.
Akan tetapi keraguan itupun
sirna seketika, karena haru, sedih dan gembira jadi satu menyambut kedatangan
Ashral anaknya tercinta yang sekian lama menghilang ditelan waktu.
“Ohalah Ashral...?!”
Mereka berpelukan
diiringi tangis bahagia dan tetes air mata pun tidak bisa dibendung mengalir
deras.
Ashral pulang dengan
pakaian yang tidak lazim digunakan oleh masyarakat setempat saat itu. Ia hanya
menggunakan pakaian yang terbuat dari akar-akaran, dianyam sebagai penutup
aurat dan dengan jenggot lebat serta rambut terurai panjang sampai punggung.
Hampir tidak dipercaya
bahwa yang datang itu itu adalah Mohammad Ashral yang hilang. Dan kabar
kepulangan Ashral pun tersebar secara cepat hari berikutnya. Sanak keluarga,
tetangga dan semuanya berdatangan karena penasaran dan banyak yang menanyakan
kemana saja selama ini, di mana, lalu bagaimana?
“Ring ngendi bae kowe
Ashral seprana seprene, kok gawe binglute wong sekampung kene,” tanya
orang-orang yang pada hadir termasuk kedua orang tua Ashral pun bertubi-tubi
melontarkan berbagai pertanyaan.
Ashral hanya
menceritakan beberapa hal yang dianggapnya penting saja secara singkat.
Diantaranya, selama ini ia tinggal di hutan di dalam gua nun jauh di sana
(tidak disebut letak, daerah mana) hanya ditemani para hewan yang sekaligus
mencarikan makanan buat Ashral berupa daun planding (petai cina) dan bunga
pohon jati.
Rasa penasaran si-penanya
pun semakin bertambah, dan ditanyakan pula tentang proses kepulangannya dan
bersama siapa.
“Aku balik ngumah
sedawane dalan kuweh dikancani macan, nekan nyebrang kali amba disebrangake
ring ula,” jawab dengan polos dan jujur. Tidak terbesit kebohongan secuilpun
bagi Ashral.
Ashral menceritakan bahwa ia selama diperjalanan ditemani
oleh seekor harimau dan apabila menyebrangi sungi besar ia disebrangkan oleh seekor
ular.
Walau tidak masuk akal,
akan tetapi itulah yang terjadi. Bukankah alam (kehidupan) ini serba ja’iz?
Jika Allah Taala menghendaki maka tidak ada yang tidak mungkin di jagad raya
ini. Innamaa amruhuu idza araada syai-an
an yaquula lahu kun fayakun!
Rasa penasaran warga Kesesi
pun tidak pernah berakhir. Terbukti warga selalu silih berganti tidak
henti-hentinya berkunjung ke rumah orng tua Ashral, tak lain ingin melihat
kondisi dan keberadaan Ashral langsung.
Satu Tahun di Atas Pohon Kelapa
Suatu hari dengan tidak
diketahui penyebabnya secara tiba-tiba Ashral naik ke pohon kelapa.
Berhari-hari hingga berbulan-bulan lamanya tidak makan dan tidak minum.
Dengan segala akal,
berbagai cara serta kemampuan seluruh keluarga merayu agar Mohammad Ashral agar
mau turun. Namun tetap saja Ashral tidak bergeming sedikitpun untuk turun.
Peristiwa ini berlalu dibiarkan begitu saja, ia berada diatas pohon kelapa hampir
satu tahun penuh lamanya. Dan kemudian Ashral pun turun dengan sendirinya tanpa
ada yang menyuruh untuk turun.
Proses turun dari pohon
kelapa ini pun membuat orang tercengang heran.
Ia turun dengan pelepah
kelapa yang sudah kering melayang meluncur ke bawah sampai mendarat di tanah
dengan selamat. Akhirnya pelepah daun kelapa tersebut digunakan untuk duduk
silah di bawah pohon jeruk dan pohon nangka.
Di tempat baru itu pulalah
Ashral tidak mau beranjak sedikitpun, hingga berbulan-bulan lamanya. Hingga
datang musim hujan pun Ashral tidak mau pindah tempat. Pendirian Ashral tidak
berubah, sehinga kerabat-kerabatnya membuatkan suatu tempat untuk berteduh agar
terhindar dari guyuran air hujan serta dibuatkan pula pagar keliling sebagai
pembatas tempat ia lelaku tersebut.
Kabar kepulangan
Mohammad Ashral tidak cuma beredar di seputar Kesesi saja. Akan tetapi melebar
sampai didengar oleh Pengasuh Ponpes (Kyai Munir) tempat ia menimba ilmu Agama
Islam sebelas tahunan yang lalu. Yang pada akhirnya Pengasuh serta santri Ponpes
datang bersilaturahmi sekaligus ingin tahu kondisi Ashral terkini secara
langsung.
Julukan Wali Gendhon (Mbah Wali Gendhon Kesesi)
Setelah sampai di
kediaman Mohammad Ashral, kemudian mereka mengadakan pertemuan khusus yang pada
akhirnya dengan logat (dialek) Cirebon yang kental maka pengasuh Ponpes
mengatakan
“Cung, kiyeh Mokhammad Ashral
wis balik, sira susah piker, bingung piker, sowan nang Mokhammad Ashral.
Julukane Wali Gendhon.”
“Anak-anak, sekarang Mohammad Ashral sudah pulang, jika
kaliyan ada rasa gundah, keruwetan dan tidak adanya ketenangan dalam fikiran,
maka datanglah bersilaturahmi ke tempat Mohammad Ashral. Julukane Wali
Gendhon.”
Begitulah wejangan yang
disampaikan pengasuh Ponpes terhadap para santri. Dan semenjak kedatangan Pengasuh
dan santri Ponpes tersebut, barulah Mohammad Ashral alias “Wali Gendhon”
berkenan masuk ke rumah menyudahi lelakunya.Sejak itu pulalah Mohammad Ashrul
mendapat gelar wali Gendhon atau Mbah Wali Gendhon oleh pengasuh Ponpes Babakan
Ciwaringin Cirebon, Jawa Barat.
Jaman Penjajahan Belanda
Saat itu Indonesia
berada di tangan kekuasaan penjajah Belanda di bawah pimpinan Ratu Wilhelmina. Dan akhirnya rumah Mbah
Wali Gendhon sebagai tempat perlindungan pejabat dan tentara pejuang kemerdekaan
yang terancam (diincar, dikejar-kejar) oleh serdadu Belanda. Secara otomatis
Mbah Wali Gendhon menjadi musuh dan incaran serdadu pula.
Setelah Belanda mengetahui
bahwa di rumah tersebut banyak pejuang yang berlindung di sana, maka pada suatu
hari Belanda melancarkan serangan lewat udara dengan membombardir tempat
tersebut. Dengan tujuan biar hangus rata tanah dan isi penghuni tewas semua.
Namun hanya dengan
perisai tampah yang tengkurep diletakan di halaman rumah, al hasil dengan izin
Allah SWT serta dengan kekuatan-Nya tempat tersebut dan sekitarnya selamat dari
serangan bom.
Walaupun Syeh Mohammad
Ashral sudah berbuat baik dan benar untuk masyarakat akan tetapi tetap saja
tidak sedikit ada yang membenci dan memusuhi, tak lain adalah mereka yang
berpihak pada Kompeni. Itulah manusia. Ada yang baik ada yang buruk, ada yang
benci ada yang suka, selalu sinergis berpasang-pasangan (dua).
Mereka yang membenci
beliau selalu memata-matai dan selalu mencari kelemahan Mbah Wali Gendhon tanpa
henti-hentinya. Berbagai cara pun diperdaya untuk mengalahkan beliau. Biar
bertekuk lutut pada kompeni dan menyerahkan pejuang-pejuang yang berlindung
pada beliau. Dan pada suatu ketika beliau dijebak oleh seseorang untuk
meyakinkan kalinuwihannya atau kewaliannya. Maka orang tersebut berkata pada
kompeni dengan cara mengadu.
“Seandainya dia
benar-benar wali Allah maka dia akan selamat jika ditembak. Namun jika dia wali
bohongan maka jika ditembak tidak akan selamat,” ujar orang tersebut pada
kompeni.
Dan pada saat terjadi
penembakan Mbah Wali Gendhon sempat melindungi orang yang berada di depannya,
dengan segera secepat kilat beliau menyambar orang tersebut lalu disembunyikan
di belakangnya.
Terdengar letusan mesiu memekakan
genderang telinga yang diarahkan ke tubuh Mohammad Ashral. Saat itu kompeni terheran-heran,
tubuh Ashral tidak kelihatan, yang tampak hanyalah segumpal asap mesiu
membumbung yang baru saja meletus.
Kemudian setelah asap
mulai menipis beliau tampak dengan sebuah peluru berada digenggaman dan peluru
tersebut sempat diperlihatkan pada mereka.
Seketika itu pun beliau
berucap pada orang yang diselamatkan.
“Nekan ora tak umpetake,
kowe sing kena,” ujar Mbah Wali Gendhon pada orang itu. *)
“Seandainya tidak saya sembunyikan, kamu yang kena,” ujar
Mbah Wali Gendhon pada orang itu.
*) Kisah nyata ini telah diceritakan oleh orang yang
diselamatkan langsung Mbah Wali Gendhon pada keluarga pengelola makam.
Nyiwer Markas Belanda
Setelah kejadian itu,
selang beberapa hari serdadu Belanda datang dengan Komandan Pasukan. Mereka
minta maaf sambil membawa berbagai macam makanan dan sejumlah uang. Namun
dengan rendah hati tidak membuat sakit apalagi tersinggung, Mbah Wali Gendhon
menolak pemberian tersebut. Bahkan menyuruhnya untuk membawa pulang semua
pemberian barusan.
Terpisah, Mbah Wali
Gendhon pada suatu ketika pernah gencar melancarkan perlawanan kepada kompeni
dengan caranya sendiri. Beliau mengusir Belanda hanya dengan mengelilingi
(langlang) markas atau disiwer. Satu demi satu tiap hari tentara Belanda tewas
(meninggal) tanpa sebab yang jelas. Dan akhirnya markas tersebut kosong karena
serdadu Belanda bubar ketakutan, dengan sendirinya maskas sepi tanpa
berpenghuni.
Begitulah, diantaranya
Mbah Wali Gendhon telah turut serta andil dalam berjuang melawan penjajah pada
waktu itu hingga Indonesia Merdeka, jiwa patriotiknya telah mencokol dalam diri
Mbah Wali Gendhon.
Dari berbagai peristiwa
(kisah nyata) tersebut maka banyak masyarakat yang semula kurang yakin tentang
ke-walian Syeh Mohammad Ashral atau Mbah Wali Gendhon ini menjadi yakin bahwa
beliau adalah seseorang yang memiliki karomah yang diberikan oleh Allah
SWT. Dan mulailah masyarakat
berbondong-bondong berdatangan ke makam beliau.
Sekelumit kisah hidup
Syeh Mohammad Ashral al Mbah
Wali Gendon yang merupakan pejuang dan ulama kharismatik
dari Kesesi ini dapatlah dipetik hikmahnya dan guna mengenang beliau sebagai wali Allah
sekaligus seorang pahlawan melawan kompeni yang menindas
rakyat. Berjuang hingga akhir hayat.
Pada tahun 1960 beliau
meninggal dunia (1847-1960)
Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uuna wa innaa ilaa
rabbinaa lamunqalibuuna. Allahumma uktubhu ‘indaka fil muhsiniina waj’al
kitaababuu fi ‘illiyyiina wakhluf fii ahlihii fil ghaabiriina.
(sesungguhnya kami milik Allah dan kami akan kembali
kepada-Nya dan kami pasti akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah, tulislah
dia di sisi Engkau termasuk golongan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan
Engkau jadikanlah tulisannya itu dalam tingkatan yang tinggi serta gantilah
ahlinya dalam golongan orang-orang yang pergi).
Semoga arwah beliau diteriam di sisi Allah SWT dan masuk
dalam surga-Nya. Amien.
Sisa hidupnya beliau
abdikan untuk umat dan masyarakat, di usia yang 113 beliau wafat tanpa
meninggalkan seorang anak. Jasad beliau disemayamkan di Dukuh Kauman, Desa
Kesesi, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan. Syeh Mohammad Ashral atau Mbah Wali Gendhon
Kesesi lahir tahun 1847 (tanggal tidak diketahui) – wafat tahun 1960 (tanggal
juga tidak diketahui).
Makam Dipindah
Oleh karena erosi Sungai
Layangan telah mengancam keberadaan makam beliau dan untuk mencegah hilangnya
makam maka dipindahkan tidak jauh dari asal semula (400 meter dari asal) masih
satu dukuh yakni di Dukuh Kauman Selatan pada tahun 2000 M.
Dan masih banyak cerita
atau kisah nyata yang belum diungkapkan di sini (akan dilengkapi jika ada berbagai temuan kisah nyata dan sebagainya)
dan juga kisah hidup Syeh Mohammad Ashral banyak yang tidak masuk akal. Jika
ditulis semua terkadang bisa menjadi polemik sebab karena ada sebagian pembaca
yang tidak mempercayai kisah nyata tersebut oleh karena tidak bisa diterima
oleh akal pikiran.
Lokasi
Kondisi tanah berundak
luas seluruhnya ± 35 m x 20 m.
Disitu berdiri bangunan
utama makam Syekh Mohammad Ashral alias Mbah Wali Gendhon Kesesi seluas 4 m x 5 m, serambi 3 m x 3 m dan penampung mata air yang
tidak pernah kering walau pun di musim kemarau disebutnya
"SENDANG KASEPUHAN"
yang telah dimanfaatkan oleh peziaroh karena karomah dari air sendang tersebut seperti untuk madangke pikir, menyembuhkan berbagai penyakit dan kepentingan masing-masing peziaroh.
Munajad dari peziaroh tentunya berbeda-beda, dan banyak pula yang jodoh (cocok) oleh karena karomah air tersebut, seperti dituturkan oleh Bowo (peziaroh dari tlatah Pemalang). Saat pikiran kalut dan bingung ia datang karena panggilan hati lalu minum tiga tetes air Sendang Kasepuhan dan mandi besar, ditutup dengan doa kemudian ambil air wudlu lalu sholat di musholah yang ada di areal makam memohon kekuasaan Allah SWT agar problem yang sedang dihadapi segera teratasi.
Kata Bowo, alhamdulillah keajaiban itu muncul di pagi harinya. Itu semua karena Allah Taala, bukan karena air Sendang Kasepuhan (bukan syirik). Air sendang hanya sebuah air biasa, akan tetapi karena rakhmat dan hidayah-Nya air tersebut menjadi mustajab serta berkah mbarokahi. Dan masih banyak kisah-kisah nyata yang lain yang akan ditampilkan di sini (bersambung).
Di atasnya berdiri musholah 8 m x 7 m serta rumah
sederhana sebagai tempat tinggal pengelola makam 4 m x 6 m.
Di dalam bangunan utama
ini jasad Syeh Mohammad Ashral alias Mbah Wali Gendhon Kesesi disemayamkan
dengan tenang (seperti tampak pada foto
di atas). Tiap hari selalu dikunjungi peziaroh yang terkadang ada yang
bermalam beberapa hari baik perorangan atau rombongan. Mereka datang mencari
ketenangan dan ngudari ruwet petenging pikir. Dan berbagai kepentingan.
Masing-masing pengunjung punya kepentingan yang berbeda-beda pula. (*)
Mudah-mudahan
tulisan ini dapat dijadikan bahan referensi dinas dan/atau instansi terkait
(Pemkab Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Pusat Jakarta) untuk
kepentingan khasanah budaya bangsa. Karena keterbatasan dana maka pengelolaan
makam Syeh Mohammad Ashral atau Mbah Wali Gendhon Kesesi, sarana dan prasarana
yang tersedia kurang dari sempurna.
Seperti
halnya MCK Umum tidak tersedia dan tempat untuk parkir kendaraan tidak ada.
Padahal tiap hari dan hari-hari tertentu makam tersebut banyak dikunjungi
peziaroh dari berbagai daerah (luar kota). Bahkan ada yang datang dari luar
negeri seperti negeri Jiran Malaysia pun berziaroh ke tempat disemayamkannya
Syeh Mohammad Ashral alias Mbah Wali Gendhon Kesesi.
Pengelola
makam Syeh Mohammad Ashral alias Mbah Wali Gendhon Kesesi berharap adanya
dermawan yang mau dan sudi mengulurkan tangan untuk keperluan (pembuatan)
sarana dan prasarana tersebut di atas. Untuk perluasan lahan guna pembuatan MCK
Umum, tempat parkir dan sebagainya.
Bagi
dermawan, dianjurkan datang saja langsung ke lokasi, tidak pakai perantara
untuk menghindari kesalah pahaman dan penyalahgunaan amanah.
Pengasuh
makam Syeh Mohammad Ashral alias Mbah Wali Gendhon Kesesi adalah M Arifin RS
(cicit kemenakan Mbah Wali Gendhon Kesesi) alamat: Dukuh Kauman Selatan, Desa
Kesesi, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Tim penyusun:
Muhammad Arifin RS (0877 6425 7565, 0823 2593 3422) (Pengelola Makam)
Ali Sodikin, SPd.SD. (0878 3059 8434, 0856 4255 4254) (Penilik Sekolah UPPK Bodeh)
Abdul Lukman Prabowo (0877 6463 8055, 0853 2800 9755) (Wartawan SK Dialog)
(Kesesi, 14 September 2013)
KHAUL SYEKH MOHAMMAD ASHRAL alias MBAH WALI GENDHON KESESI
diselenggarakan setiap sasi Jumadil Awal dinten Ahad Legi.
Semi
adalah pengelola pertama makam tersebut yang juga ibu kandung dari Muhammad
Arifin RS. Almarhummah Semi merupakan cucu Kemenakan (Plunan) dari Syeh Mohammad
Ashral alias Mbah Wali Gendhon Kesesi.
Muhammad Arifin RS (45)
yakni pengelola (sekarang) makam Syeh Mohammad Ashral alias Mbah Wali Gendhon
Kesesi adalah anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Ibu Semi dan
Bapak Ramidi. Keempat putranya adalah: 1. Ashar. 2. Nasori. 3. Khuromin. 4.
Muhammad Arifin RS.
Sewaktu muda Arifin bekerja serabutan di
Jakarta untuk mencari nafakah buat meringankan dan membantu orang tua. Untuk
sementara, saat itu makam dirumat dan dikelola oleh Ibu Semi sendirian. Suatu
ketika Arifin pulang merantau, di tahun 2003 mendapat wejangan langsung dari
Mbah Wali Gendhon.
“Putuku kowe Istiqomaha
nang Karangdadap,” ujar Mbah Wali Gendhon.
Wejangan tersebut buat
Arifin menjadi sebuah obsesi panjang. Apakah ia harus ke Desa Karangdadap dan
mencari seorang wanita yang bernama Istiqomah untuk dijadikan pendamping hidup.
Atau bagaimana? Keluguan dan kejujuran Arifin yang cuma tamatan MTs inilah
menjadikan bingung dalam mengartikan wejangan tersebut.
Mencari jawab pun ia
cari ke sana kemari. Akhirnya ditemukan jawaban pasti mengenai makna wejangan
dari Mbah Wali Gendhon, yakni:
“Tidak usah kerja
kemana-mana lagi, rawatlah makam Mbah Wali Gendhon saja dan jangan takut tidak
bisa makan,” itulah makna wejangan tersebut. Kini Arifin dengan kesendiriannya,
kedua orang tua sudah meninggal, ia merawat makam Mbah Wali Gendhon tanpo konco
tanpo batir alias masih bujang.
(14/9/2013)
WORO-WORO !!!
AKAN DITERBITKAN BUKU KECIL TENTANG SYEH MOHAMMAD ASHRAL
ALIAS MBAH WALI GENDHON KESESI. CP. 0877 6463 8055, 0853 2800 9755.