Pemalang,
hariandialog.com/Dialog
-
Kesenian tradisional Gonor di Desa Susukan, Kecamatan Comal,
Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, telah mati suri sampai tiga dasa
warsa. Kini telah bangun dari tidur panjangnya untuk hadir dan
mengisi khasanah seni budaya daerah.
“Kami
ingin meniupkan nafas ke tubuh Gonor agar hidup kembali yang
lama hilang bahkan telah mati ditelan waktu. Bersama rekan-rekan dan
masyarakat akan bekerja keras menghidupinya,” ujar Ali Sodikin SPd
salah satu tokoh masyarakat setempat (30/7) pada Dialog.
Dihimpun
dari
berbagai sumber, kesenian Gonor ini pernah hadir dan dikembangkan
oleh lurah setempat pada jaman Kolonial Belanda. Pendiri awal tidak
diketahui namanya. Pada masa itu pun disinyalir Gonor adalah warisan
dari leluhur lurah saat itu. Sekitar tahun 1980-an Gonor menghilang
dan terkubur waktu sampai sekarang 2013.
Sebagai
pelaku
sejarah saat itu, “Saya siap untuk berkiprah kembali agar Gonor
eksis seperti semula sebagai kesenian tradisonal yang tidak ada di
desa lain. Saya rindu Gonor,” ujar Untung perangkat Desa Susukan
selaku pemain Gonor pada jamannya sewaktu masih anak-anak.
Diketahui
Gonor
adalah kesenian tradisional lokal sebagai ujud protes terhadap
pemerintahan Belanda yang kejam. Sehingga banyak masyarakat hidup
kelaparan. Akhirnya dari seniman desa setempat diciptakan sebuah
permainan semacam kuntulan yang dimainkan setiap malam bulan purnama
keliling desa, dengan tujuan guna membakar semangat hidup walaupun
dirundung sengsara.
Nama
Gonor
diambil dari kata Ono Sego Nor-Noran (ada
nasi pada berebutan. Red)
disingkat Gonor. Sebab yang dimakan pada saat itu terkadang
nggok-nggokret, gaplek atau tiwul.
“Pada
intinya saya mendukung
dengan digali dan bangkitkan kesenian Gonor ini. Tapi jangan seperti
nyalanya blarak. Seketika membara lalu padam. Pihak pemerintah desa
akan memfasilitasi kebutuhan yang diperlukan,” ujar Irvanudin
Kepala Desa Susukan belum lama ini pada Dialog. (look)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar