Alumnus Guru SMK Satya Praja 2 Petarukan
Kabupaten Pemalang 52363 Jawa Tengah
(Surat Kabar Dialog. Kamis 18 Juli 2013 / hariandialog.com)
(Surat Kabar Dialog. Kamis 18 Juli 2013 / hariandialog.com)
Negara
kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dipimpin oleh presiden. Presiden dalam melaksanakan tugas kenegaraan dibantu
oleh wakil presiden dan para menteri. Dalam mengemban tugas tentunya para wakil
rakyat harus mampu menjunjung tinggi makna pemerintahan demokrasi Pancasila.
Dewasa
ini makna demokrasi masih sering terabaikan oleh para pejabat pemegang
pemerintahan. Penyimpangan-demi penyimpangan dilakukan dengan dalih mempertebal
kantong pribadi dikarenakan minimnya iman dan rapuhnya budi pekerti.
Aneka
kasus penyalahgunaan uang Negara semuanya sudah tidak asing lagi terdengar di
masyarakat luas, sebagai contohnya kasus Hambalang, Kasus bank Century, kasus
suap daging sapi,kasus Eyang Subur, dan lain sebagainya. Kompleksitas
kasus-kasus tersebut seperti belum mampu teratasi dengan baik dikarenakan
adanya simpang-siur para pelaku hokum yang tidak sesuai dengan harapan rakyat Indonesia.
Jika
kita mencermati system demokrasi yang berkedaulatan rakyat, maka akan
dipastikan obsesi kita tertuju pada tujuan awal, yakni tentang tiga hal
mendasar diantaranya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pada intinya semua keputusan terkuat dari rakyat.
Lalu
fakta apa yang muncul dibenak kita untuk menanggapi kerancauan penanganan kasus
seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), poligami, dan sejenisnya?. Kasus
Hambalang, Bank Century, dan kasus suap daging sapi seharusnya mendapatkan
perhatian intensif dari pemerintah. Selesaikan perkara penyelewengan tersebut
dengan tegas dan tuntas tanpa adanya pandang bulu siapapun itu orangnya, benar
katakana benar dan salah nyatakan salah.
Segmen
kasus yang sekiranya kurang penting selalu digembar-gemborkan diberbagai media
seperti televise, radio, surat kabar, majalah, dan media-media yang lainnya
sebagai bentuk pengalihan mata terhadap
pandangan rakyat agar lupa dan lalai terhadap masalah KKN. Namun ada pepatah
mengatakan bahwa sepandai-pandainya para politikus membungkus bangkai, suatu
saat nanti pasti akan tercium juga dihidung rakyat. Semua akan terkuak tuntas
dengan merambatnya pola pikir para generasi baru yang semakin cerdas dan
bijaksana.
Berita
kasus Eyang Subur sempat hangat dinegeri ini, padahal jika kita kaji kasus
Eyang Subur tak seberat kasus Bank Century, Hambalang, dan suap daging sapi.
Fenomena berita tersebut digelorakan dimasyarakat dengan tujuan adanya
simbiosis parasitisme, artinya kasus Eyang Subur tersebut hanya sebagai pengelabuhan terhadap rakyat agar tidak terfokus
pada perhatian kasus KKN, melainkan digiring untuk melihat kasus poligami, dan
tentunya semua itu sudah diaransemen sedemikian rupa, biar para koruptor bias
bernafas dengan lega dibelakang punggung kasus perkara Eyang Subur.
Berdasarkan
uraian diatas maka jelaslah bahwa permainan hukum oleh oknum-oknum tertentu
sangat kuat dan birokratif, sehingga KKN, poligami, penyuapan, dan kasus-kasus
besar lainnya terkesan berbelit-belit dan tidak ada ujung penyelesaiannya
sampai sekarang ini.
Dalam
keilmuan Negara manusia juga disebut Zoon Politicon yaitu sebagai
pelaksana berpolitik yang berdasar pada hukum dan akal. Hukum dalam arti aturan
yang jelas, dan akal dalam arti kecerdasan berfikir. Kefasihan berpikir inilah
yang sering membuat sesuatu tujuan politik yang seharusnya fokus menjadi tidak
fokus atau amburadul. Sebagian ada yang berambisi mengeruk uang rakyat
dan setelah terbongkar kedoknya penanganan kasusnya sangat lambat dan bahkan
tidak ada tindakan tegas dari aparat, hal semacam ini menandakan bahwa hukum di
Indonesia masih bisa dibeli dengan uang, serta komponen yang akan terbentuk
adalah komponen mesin politik Indonesia mengalami lemah syahwat sebagai imbas
dari kecurangan-kecurangan yang dilakukan para pakar politikus yang menggasak
uang rakyat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar