Wanita Wani Nata
Pemalang,
Dialog.
“Memang, barat selalu unggul dalam
tekhnologi dan banyak kesuksesan yang diperolehnya. Kita sendiri banyak
merasakan dampak dari semua itu. Dan
timur selalu kalah dalam hal tersebut,” ujar Noimah L Prabowo, SPd.I.
guru Agama MI NU Jatirejo, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang, di
sela-sela kesibukan mengajar.
Lain
halnya timur selalu menjunjung tinggi nilai harkat dan martabat, sopan dan
santun. Serta
hati-hati menjaga perasaan orang yang ditimbulkannya. Kepribadiannya dan jiwa
(orang timur) semakin matang dan moralnya pun tidak sebobrok negeri barat dari
sudut pandang tertentu secara umum, lanjut pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT)
dan juga mantan atlet Pencak Silat Porda di tahun sembilan puluhan.
“Itu
semua terjadi secara naluri walau adanya arus kesejagadan (globalisasi) dan dimulainya abad pasifik kita selalu eksis, karena kebutuhan paralel guna menghargai tradisi, norma-norma
dan nilai-nilai
dalam masyarakat. Semua
berakar pada kepercayaan dan kebijakkan yang tumbuh turun-temurun. Ilmu tanpa moral - akan sia-sia, dan sebaliknya moral
tanpa ilmu -
tidak akan bermanfaat,”
imbuhnya.
Maka
seorang perempuan tidak cukup modal moral, akan tetapi harus dilengkapi dengan
ilmu. Ilmu
beladiri pencak
silat, sebagai budaya warisan luhur yang adiluhung dari bangsa kita
sangat tepat.
Apalagi, perempuan kalau ditinjau dari ilmu etimologi
adalah Pe-Empu-An
dengan sisipan “R” itu mengandung
makna empu dari segalanya. Yakni mampu mencetak negeri menjadi hancur dan atau
sebaliknya.
Seperti
dikisahkan oleh perempuan “Ken Dedes”
beliau telah mencetak raja-raja Nusantara yang gung binantoro. Boleh dikata raja-raja
negeri ini adalah turunan dan cetakan
dari rahim seorang perempuan yang bernama “Ken Dedes” tersebut, oleh karena
mendapatkan rakhmat dan hidayah dari Sang Pencipta alam semesta ini,
sambung Noimah ketika Dialog mengejar makna hari Kartini.
Dan
apabila ditilik dari asal kata Wanita
bukan berarti Wani Ditata
seperti yang lazim kita dengar, tapi yang benar adalah Wani Nata
artinya harus berani mengatur jangan selalu diatur asal tidak melupakan
kodratnya sebagai seorang wanita. Kalau orang Jawa bilang “Ora Elok” atau tidak patut dilakukan oleh seorang wanita jika
meninggalkan kodratnya.
Lalu,
bagaimanakah dengan ilmu beladiri pencak silat relevansinya dengan perempuan?
Jawabnya: sah-sah saja, dan tetap elok.
Sebab seorang pendekar tidak harus kekar gagah pideksa dan selalu menang dalam
pertarungan, digdaya sekti mandraguna tanpa tanding, dan tidak pernah mengalami
suatu kekalahan, lanjut Noimah yang juga pengurus Nahdatul Ulama (NU)
Cabang Pemalang dengan semangat.
Lanjutnya, Pendekar sejati tidak mengabdi
pada kemenangan akan tetapi mengabdi
pada kebenaran. Meskipun tubuh kita hancur
itu tetap pendekar
sejati.
Disinilah terdapat
titik temu, yang mengesahkan seorang perempuan berhak menyandang gelar
pendekar.
Lihat
saja salah satu istri dari seorang pejuang Fatahilah
dari Batavia, istri beliau adalah seorang “Srikandi
Perang” dan lincah berkuda di medan perang melawan penjajah pada jamannya. Kemudian ada lagi wanita Nyai Banten, Nyai Lamped, dan lain
sebagainya.
Perempuan
baru menjadi perempuan sepenuhnya apabila dia sudah bisa menempatkan dirinya
sendiri antara keseimbangan dan keselarasan kodratnya dengan lelaki. Hidup
tidak bisa sendiri-sendiri tetapi ada pasangannya. Keseimbangan dan keselarasan
itu sendiri ditentukan oleh perilaku atau perbuatan yang berdasarkan pada akal
dan budi.
“Di hari yang bersejarah ini, dalam
rangka memperingati hari lahirnya Ibu Kita RA. Kartini mestinya kita wajib melestarikan
dan melanjutkan perjuangan serta pola pemikirannya. Kartini telah membuka lebar wawasan
dunia tentang wanita,” ditutupnya pembicaraan itu dengan senyum ramah. (look)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar